Kamis, 03 Juli 2014, hari dimana aku
menginjakkan kaki di bumi langitan, Widang, Tuban. Dengan berbekal restu dan
doa dari orangtua aku pergi ke pondok pesantren langitan untuk niat tholabul
ilmi, sekaligus mengobati rasa penasaran ku akan pondok yang namanya sudah
sejak kecil aku dengar. Sekitar Pukul 07.00 WIB aku berangkat dari rumah,
diantar bapak ke pertigaan Semlaran, Lamongan.
Bapak memilih menyeberang sungai bengawan solo daripada melewati jalan raya agar lebih cepat sampai, karena desaku dan kabupaten lamongan hanya dipisahkan oleh sungai terpanjang se jawa, yaitu sungai bengawan solo. Hanya butuh waktu kurang lebih seperempat jam untuk bisa sampai ke pertigaan Semlaran. Setelah sampai di pertigaan, aku dan bapak berpisah. Setelah salim sama bapak, aku sendirian naik angkot menuju pondok. Di perjalanan, aku merasa senang, karena akan kembali beraktifitas dengan “kitab kuning”. Ya Allah, bukan main senangnya, saat itu juga aku teringat sekaligus rindu pada pondok ku tercinta, pondok pesantren Al-Karimi. Namun tanpa mengurangi sedikitpun rasa cintaku pada pondok ku dulu, aku ingin menuntut ilmu di pondok yang terkenal dengan grup sholawat Al Muqtashidahnya itu. Di perjalanan juga aku merasa tertantang sekaligus waswas, karena aku sama sekali tidak tahu sedikitpun tentang lokasi pondok tersebut dan aku tidak punya teman atau kenalan seorang pun di pondok langitan. Yang aku tahu bahwa pondok langitan ada di Kabupaten Tuban, kecamatan Widang. Itu saja yang aku tahu. Aku hanya bisa berdoa agar Allah memudahkan jalanku untuk menuntut ilmu.
Bapak memilih menyeberang sungai bengawan solo daripada melewati jalan raya agar lebih cepat sampai, karena desaku dan kabupaten lamongan hanya dipisahkan oleh sungai terpanjang se jawa, yaitu sungai bengawan solo. Hanya butuh waktu kurang lebih seperempat jam untuk bisa sampai ke pertigaan Semlaran. Setelah sampai di pertigaan, aku dan bapak berpisah. Setelah salim sama bapak, aku sendirian naik angkot menuju pondok. Di perjalanan, aku merasa senang, karena akan kembali beraktifitas dengan “kitab kuning”. Ya Allah, bukan main senangnya, saat itu juga aku teringat sekaligus rindu pada pondok ku tercinta, pondok pesantren Al-Karimi. Namun tanpa mengurangi sedikitpun rasa cintaku pada pondok ku dulu, aku ingin menuntut ilmu di pondok yang terkenal dengan grup sholawat Al Muqtashidahnya itu. Di perjalanan juga aku merasa tertantang sekaligus waswas, karena aku sama sekali tidak tahu sedikitpun tentang lokasi pondok tersebut dan aku tidak punya teman atau kenalan seorang pun di pondok langitan. Yang aku tahu bahwa pondok langitan ada di Kabupaten Tuban, kecamatan Widang. Itu saja yang aku tahu. Aku hanya bisa berdoa agar Allah memudahkan jalanku untuk menuntut ilmu.
Sekitar pukul 08.00 aku sampai di
kecamatan Widang. Aku masih ingat tarif angkotnya adalah lima ribu rupiah.
Setelah mendapatkan informasi mengenai arah-arah lokasi pondok langitan dari
bapak supir, aku turun dari angkot dengan rasa penasaran yang sungguh
membuncah. Kata bapak supir, aku harus naik tangga dan setelah itu naik becak
untuk sampai ke pondok putri. Aku mencari-cari tangga yang dimaksud tapi tak
juga kutemui tangga itu. Jadi aku bertanya pada salah seorang bapak-bapak paruh
baya yang sedang berbincang-bincang dengan sorang laki-laki yang usianya tak
jauh berbeda dengan bapak itu.
Setelah aku melihat tangga yang
dimaksud, aku bergegas menaiki tangga untuk menyebrang jembatan di atas jalan
raya. Setelah sampai di jembatan, aku naik becak sesuai dengan saran bapak
tadi. Senyum ku mengembang setelah melihat tugu yang berbentuk Kitab Al-Qur’an
yang terbuka di tengah-tengah jalan dua arah. Tak sabar rasanya ingin segera
menginjakkan kaki di bumi langitan. Kurang lebih lima menit saja naik becak,
sampailah aku di pondok putri Al-Mujibiyyah Langitan. Kemudian aku masuk ke
pondok putri dengan diantar salah satu pengurus pondok. Sungguh senang hatiku
saat itu, Allah mengabulkan keinginanku untuk bisa mondok di Langitan. Disana
aku ngaji kitab Bidayatul Hidayah, Fathul Qorib, Hidayatul Azkiya’ ( terbitan
pondok langitan ), Ta’limul muta’allim, dan alfiyah. Tak kulewatkan kesempatan
mondok disana dengan sia-sia. Aku senang membaca majalah langitan. Dari majalah
yang sering aku baca aku jadi tahu mengenai kegiatan dan aktifitas-aktifitas
pondok. Biaya makan disana hanya dua ribu rupiah untuk satu bungkus nasi. Murah
pokoknya. Para santri menggunakan bahasa jawa halus sebagai bahasa sehari-hari.
Hari-hari pertama alhamdulillah puasanya lancar, tapi waktu hari ke enam, aku
kena flu. Badanku panas banget. Aku sakit sampai pulang pun belum juga sembuh. Bahkan
waktu acara nuzulul Qur’an malam tujuh belas ramadhan, aku tidak bisa mengikuti
kegiatan pondok. Aku hanya bisa istirahat dikamar karena badanku panas sekali
waktu itu. Aku bersyukur aku punya banyak kenalan. Ada Ummul (Lamongan), Devi
(Lamongan), Hida( Bojonegoro), Hidayah (Bojonegoro), Hida (Bojonegoro), Nayyin
( Ngawi), mbak Wahidiyah Nur Zammah (Babat), Putri (Tuban), mbak Aida (Babat),
mbak Nafis, mbak Haidar (Gresik), dan aku juga kenal beberapa vokalis sholawat
pondok putri Al-Mujibiyyah bahkan satu kamar, namanya Neli dan mbak Li’iza
Diana Manzil (Gresik). Tiap malam jum’at ada kegiatan sholawatan dan saat
itulah grup sholawat pondok putri Al-Mujibiyyah tampil. Para santriwati sangat
bersemangat dan antusias sekali mengikuti kegiatan tersebut. Saat itu juga aku
rindu dengan Jannatur Ridhwan, grup sholawat di kampus. Meskipun cuma beberapa
hari aku sangat bersyukur bisa menuntut ilmu dan mencari pengalaman. Sayangnya
aku tidak punya nomor HP atau nama facebook teman-teman yang mondok disana. Hanya
beberapa saja yang aku punya. Pada tanggal 15 Juli aku harus pulang karena para
santri yang mondok romadhan sudah waktunya pulang. Padahal aku masih belum puas
tapi cepat atau lambat aku harus pulang. Aku pulang dijemput bapak. Aku senang
karena bapak bela-belain sendirian untuk menjemptuku padahal bapak sendiripun
tidak tahu lokasi pondok Langitan. Sungguh hebat bapakku.
Itulah
pengalamanku selama dua belas hari di Langitan. Semoga ilmu yang kita peroleh
dapat bermanfaat bagi sesama Amiiin.
:) |
ma'a ashdiqo'i fii lantany |
menara langitan |
“
Tholabul ilmi fariidhotun ‘alaa kulli muslimin wa muslimatin”
( Menuntut ilmu itu wajib bagi
orang islam laki-laki dan perempuan)
“
Uthlubul ‘ilma walau bisshiin “
( Tuntutlah ilmu walaupun ke negeri
Cina )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar