BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Anak adalah titipan tuhan yang harus kita jaga dan kita
didik agar ia menjadi manusia yang berguna dan tidak menyusahkan siapa saja.
Secara umum anak mempunyai hak dan kesempatan untuk berkembang sesuai
potensinya terutama dalam bidang pendidikan.
Setiap anak dilahirkan bersamaan dengan potensi-potensi
yang dimilikinya. Tak ada satu pun yang luput dari Pengawasan dan
Kepedulian-Nya. Hal ini merupakan tugas
orang tua dan guru untuk dapat menemukan potensi tersebut. Syaratnya adalah
penerimaan yang utuh terhadap keadaan anak.
Dalam bidang pendidikan seorang anak dari lahir
memerlukan pelayanan yang tepat dalam pemenuhan kebutuhan pendidikan disertai
dengan Pemahaman
mengenai karakteristik anak sesuai pertumbuhan dan perkembangannya akan sangat
membantu dalam menyesuaikan proses belajar bagi anak dengan usia, kebutuhan,
dan kondisi masing-masing, baik secara intelektual, emosional dan sosial.
Masa usia Sekolah Dasar merupakan periode emas
(golden age) bagi perkembangan anak untuk memperoleh proses pendidikan. Periode
ini adalah tahun-tahun berharga bagi seorang anak untuk mengenali berbagai
macam fakta di lingkungannya sebagai stimulans terhadap perkembangan aspek kepribadian, kognitif,
psikososial, maupun moralnya.
Untuk itu pendidikan anak untuk usia Sekolah Dasar dalam
bentuk pemberian rangsangan-rangsangan (stimulasi) dari lingkungan
terdekat sangat diperlukan untuk mengoptimalkan kemampuan anak.
Pembentukan
kemampuan siswa di sekolah dipengaruhi oleh proses belajar yang ditempuhnya.
Proses belajar akan terbentuk berdasarkan pandangan dan pemahaman guru tentang
karakteristik siswa dan juga hakikat pembelajaran.
Dengan demikian,
proses belajar perlu disesuaikan dengan tingkat perkembangan siswa.
Untuk mendukung hal tersebut, diperlukan pemahaman para guru mengenai
rentang usia, karakteristik perkembangan dalam aspek kognitif, psikososial dan moral serta proses pembelajaran yang
efektif untuk siswa Sekolah
Dasar.
1.2 Rumusan
Masalah
1) Berapa Rentang
usia anak Sekolah Dasar ?
2) Bagaimana
karakteristik perkembangan anak usia Sekolah Dasar, berdasarkan :
a. Teori Perkembangan
Kognitif ;
b. Teori Perkembangan
Psikososial ; dan
c. Teori Perkembangan
Moral ?
3) Bagaimana
Pembelajaran Anak di Sekolah Dasar beradasarkan perkembangan kognitif,
psikososial, dan moral anak usia SD ?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan penulisan Makalah ini adalah sebagai
berikut :
1) Memenuhi salah satu tugas mata kuliah Teori Belajar
dan Pembelajaran.
2) Mengetahui rentang usia anak Sekolah Dasar dan karakteristik yang dimilikinya serta
peran guru dalam pembelajaran anak usia Sekolah Dasar.
3) Mengetahui karakteristik perkembangan usia Sekolah Dasar, berdasarkan :
Teori Perkembangan Kognitif, Teori Perkembangan Psikososial, dan Teori
Perkembangan Moral.
4) Mengetahui Pembelajaran Anak di Sekolah Dasar.
1.4 Manfaat
1) Memudahkan mahasiswa dalam memahami karakteristik perkembangan anak Sekolah
Dasar.
2) Memberikan pandangan kepada mahasiswa dalam melakukan Pembelajaran
Anak di Sekolah Dasar
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Rentang Usia Anak Sekolah Dasar
Masa usia sekolah
dasar sebagai masa kanak-kanak akhir yang berlangsung dari usia enam tahun
hingga kira-kira usia sebelas tahun atau dua belas tahun. Karakteristik utama
siswa sekolah dasar adalah mereka menampilkan perbedaan-perbedaan individual
dalam banyak segi dan bidang, di antaranya, perbedaan dalam intelegensi,
kemampuan dalam kognitif dan bahasa, perkembangan kepribadian dan perkembangan
fisik anak.
Tingkatan kelas di
sekolah dasar dapat dibagi menjadi dua, yaitu kelas rendah dan kelas tinggi. Kelas rendah terdiri dari kelas satu, dua, dan tiga, sedangkan
kelas-kelas tinggi terdiri dari kelas empat, lima, dan enam (Supandi, dalam Anitah, dkk., 2008). Di Indonesia,
rentang usia siswa SD, yaitu antara 6 atau 7 tahun sampai 12 tahun. Usia siswa
pada kelompok kelas rendah, yaitu 6 atau 7 sampai 8 atau 9 tahun. Siswa yang
berada pada kelompok ini termasuk dalam rentangan anak usia dini. Masa usia
dini ini merupakan masa yang pendek tetapi sangat penting bagi kehidupan
seseorang. Oleh karena itu, pada masa ini seluruh potensi yang dimiliki anak
perlu didorong sehingga akan berkembang secara optimal.
2.2 Karakteristik Perkembangan Anak
Usia Sekolah Dasar
Siswa
Sekolah Dasar merupakan individu unik yang memiliki karakteristik tertentu yang bersifat khas dan spesifik. Pada dasarnya setiap siswa
adalah individu yang berkembang. Perkembangan siswa akan dinamis sepanjang
hayat mulai dari kelahiran sampai akhir hayat, Dalam hal ini pendidikan maupun
pembelajaran sangat dominan memberikan konstribusi untukek membantu dan
mengarahkan perkembangan siswa supaya menjadi positif dan optimal. Setiap siswa
memiliki irama dan kecepatan perkembangan yang berbeda – beda dan bersifat
individual.
Perkembangan
siswa merupakan salah satu aspek yang harus diperhatikan dalam proses belajar.
Seluruh aktifitas proses belajar harus berpusat pada kebutuhan siswa (child
centered) dan pada aspek tuntutan masyarakat (society centered).
Fase – fase perkembangan yang dialami siswa harus dipahami oleh guru supaya
dalam pembelajaran tidak mengalami hambatan psikologis yang mengakibatkan hasil
belajar tidak optimal.
Perkembangan
siswa sekolah dasar usia 6-12 tahun yang termasuk pada perkembangan masa
pertengahan (middle childhood) memiliki fase-fase yang unik dalam perkembangannya
yang menggambarkan peristiwa penting bagi siswa yang bersangkutan. Tahap
perkembangan siswa dapat dilihat dari aspek Kognitif, Psikososial, dan Moral.
2.2.1 Teori Perkembangan Kognitif
Dalam praktek
pembelajaran, teori kognitif antara lain tampak dalam rumusan-rumusan
seperti: “Tahap-tahap perkembangan” yang dikemukakan oleh J. Piaget, Advance
organizer oleh Ausubel, Pemahaman konsep oleh Bruner, Hirarki belajar oleh
Gagne, Webteaching oleh Norman, dan sebagainya. Berikut akan diuraikan
lebih rinci beberapa pandangan mereka.
Jean
Piaget membagi
perkembangan kognitif anak ke dalam 4 periode utama yang berkorelasi dengan dan
semakin canggih seiring pertambahan usia :
1. Periode
sensorimotor (usia 0–2 tahun)
2. Periode praoperasional
(usia 2–7 tahun)
3. Periode
operasional konkrit (usia 7–11 tahun)
4. Periode
operasional formal (usia 11 tahun sampai dewasa)
1. Periode
sensorimotor
Menurut Piaget,
bayi lahir dengan sejumlah refleks bawaan selain juga dorongan untuk
mengeksplorasi dunianya. Skema awalnya dibentuk melalui diferensiasi refleks
bawaan tersebut. Periode sensorimotor adalah periode pertama dari empat
periode. Piaget berpendapat bahwa tahapan ini menandai perkembangan
kemampuan dan pemahaman spatial penting dalam enam sub-tahapan:
a. Sub-tahapan skema refleks, muncul saat lahir sampai usia enam minggu dan berhubungan terutama dengan
refleks.
b. Sub-tahapan fase reaksi sirkular primer, dari usia enam minggu sampai empat bulan dan berhubungan terutama dengan
munculnya kebiasaan-kebiasaan.
c. Sub-tahapan fase reaksi sirkular
sekunder, muncul antara usia empat sampai sembilan bulan dan berhubungan terutama
dengan koordinasi antara penglihatan dan pemaknaan.
d. Sub-tahapan koordinasi reaksi sirkular sekunder, muncul dari usia sembilan sampai duabelas bulan, saat
berkembangnya kemampuan untuk melihat objek sebagai sesuatu yang permanen walau
kelihatannya berbeda kalau dilihat dari sudut berbeda (permanensi objek).
e. Sub-tahapan fase reaksi sirkular tersier, muncul dalam usia dua belas sampai delapan belas bulan dan berhubungan
terutama dengan penemuan cara-cara baru untuk mencapai tujuan.
f. Sub-tahapan awal representasi simbolik, berhubungan terutama dengan tahapan awal kreativitas.
2. Tahapan praoperasional
Tahapan ini
merupakan tahapan kedua dari empat tahapan. Dengan mengamati urutan permainan,
Piaget bisa menunjukkan bahwa setelah akhir usia dua tahun jenis yang secara
kualitatif baru dari fungsi psikologis muncul. Pemikiran (Pra)Operasi
dalam teori Piaget adalah prosedur melakukan tindakan secara mental terhadap
objek-objek. Ciri dari tahapan ini adalah operasi mental yang jarang dan secara
logika tidak memadai. Dalam tahapan ini, anak belajar menggunakan dan
merepresentasikan objek dengan gambaran dan kata-kata. Pemikirannya masih
bersifat egosentris: anak kesulitan untuk melihat dari sudut pandang orang
lain. Anak dapat mengklasifikasikan objek menggunakan satu ciri, seperti
mengumpulkan semua benda merah walau bentuknya berbeda-beda atau mengumpulkan
semua benda bulat walau warnanya berbeda-beda.
Menurut Piaget,
tahapan pra-operasional mengikuti tahapan sensorimotor dan muncul antara usia
dua sampai enam tahun. Dalam tahapan ini, anak mengembangkan keterampilan
berbahasanya. Mereka mulai merepresentasikan benda-benda dengan kata-kata dan
gambar. Bagaimanapun, mereka masih menggunakan penalaran intuitif bukan logis.
Di permulaan tahapan ini, mereka cenderung egosentris, yaitu, mereka tidak
dapat memahami tempatnya di dunia dan bagaimana hal tersebut berhubungan satu
sama lain. Mereka kesulitan memahami bagaimana perasaan dari orang di
sekitarnya. Tetapi seiring pendewasaan, kemampuan untuk memahami perspektif
orang lain semakin baik. Anak memiliki pikiran yang sangat imajinatif di saat
ini dan menganggap setiap benda yang tidak hidup pun memiliki perasaan.
3. Tahapan
operasional konkrit
Tahapan ini adalah
tahapan ketiga dari empat tahapan. Muncul antara usia enam sampai sebelas tahun
dan mempunyai ciri berupa penggunaan logika yang memadai. Proses-proses penting
selama tahapan ini adalah:
a) Pengurutan—kemampuan untuk mengurutan objek
menurut ukuran, bentuk, atau ciri lainnya. Contohnya, bila diberi benda berbeda
ukuran, mereka dapat mengurutkannya dari benda yang paling besar ke yang paling
kecil.
b) Klasifikasi—kemampuan untuk memberi nama dan
mengidentifikasi serangkaian benda menurut tampilannya, ukurannya, atau
karakteristik lain, termasuk gagasan bahwa serangkaian benda-benda dapat menyertakan
benda lainnya ke dalam rangkaian tersebut. Anak tidak lagi memiliki
keterbatasan logika berupa animisme (anggapan bahwa semua benda hidup dan
berperasaan)
c) Decentering—anak mulai mempertimbangkan beberapa
aspek dari suatu permasalahan untuk bisa memecahkannya. Sebagai contoh anak
tidak akan lagi menganggap cangkir lebar tapi pendek lebih sedikit isinya
dibanding cangkir kecil yang tinggi.
d) Reversibility—anak mulai memahami bahwa jumlah atau
benda-benda dapat diubah, kemudian kembali ke keadaan awal. Untuk itu, anak
dapat dengan cepat menentukan bahwa 4+4 sama dengan 8, 8-4 akan sama dengan 4,
jumlah sebelumnya.
e) Konservasi—memahami bahwa kuantitas, panjang,
atau jumlah benda-benda adalah tidak berhubungan dengan pengaturan atau tampilan
dari objek atau benda-benda tersebut. Sebagai contoh, bila anak diberi cangkir
yang seukuran dan isinya sama banyak, mereka akan tahu bila air dituangkan ke
gelas lain yang ukurannya berbeda, air di gelas itu akan tetap sama banyak
dengan isi cangkir lain.
f) Penghilangan sifat Egosentrisme—kemampuan untuk
melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain (bahkan saat orang tersebut
berpikir dengan cara yang salah). Sebagai contoh, tunjukkan komik yang
memperlihatkan Siti menyimpan boneka di dalam kotak, lalu meninggalkan ruangan,
kemudian Ujang memindahkan boneka itu ke dalam laci, setelah itu baru Siti
kembali ke ruangan. Anak dalam tahap operasi konkrit akan mengatakan bahwa Siti
akan tetap menganggap boneka itu ada di dalam kotak walau anak itu tahu bahwa
boneka itu sudah dipindahkan ke dalam laci oleh Ujang.
Ciri pokok
perkembangan pada tahap ini adalah anak sudah mulai menggunakan aturan-aturan
yang jelas dan logis, dan ditandai adanya reversible dan kekekalan. Anak telah
memiliki kecakapan berpikir logis, akan tetatpi hanya dengan benda-benda yang
bersifat konkret. Operation adalah suatu tipe tindakan untuk memanipulasi objek
atau gambaran yang ada di dalam dirinya. Karenanya kegiatan ini memerlukan
proses transformasi informasi ke dalam dirinya sehingga tindakannya lebih
efektif. Anak sudah tidak perlu coba-coba dan membuat kesalahan, karena anak
sudah dapat berpikir dengan menggunakan model “kemungkinan” dalam melakukan
kegiatan tertentu. Ia dapat menggunakan hasil yang telah dicapai sebelumnya.
Anak mampu menangani sistem klasifikasi.
4. Tahapan
operasional formal
Tahap operasional
formal adalah periode terakhir perkembangan kognitif dalam teori Piaget. Tahap
ini mulai dialami anak dalam usia sebelas tahun (saat pubertas) dan terus
berlanjut sampai dewasa. Karakteristik tahap ini adalah diperolehnya kemampuan
untuk berpikir secara abstrak, menalar secara logis, dan menarik kesimpulan
dari informasi yang tersedia. Dalam tahapan ini, seseorang dapat memahami
hal-hal seperti cinta, bukti logis, dan nilai. Ia tidak melihat segala sesuatu
hanya dalam bentuk hitam dan putih, namun ada "gradasi abu-abu" di
antaranya. Dilihat dari faktor biologis, tahapan ini muncul saat pubertas (saat
terjadi berbagai perubahan besar lainnya), menandai masuknya ke dunia dewasa
secara fisiologis, kognitif, penalaran moral, perkembangan psikoseksual, dan
perkembangan sosial. Beberapa orang tidak sepenuhnya mencapai perkembangan
sampai tahap ini, sehingga ia tidak mempunyai keterampilan berpikir sebagai
seorang dewasa dan tetap menggunakan penalaran dari tahap operasional konkrit.
Berdasarkan uraian
di atas, siswa sekolah dasar berada pada tahap operasional kongkrit, pada tahap
ini anak mengembangkan pemikiran logis, masih sangat terikat pada fakta-fakta
perseptual, artinya anak mampu berfikir logis, tetapi masih terbatas pada
objek-objek kongkrit, dan mampu melakukan konservasi.
Bertitik tolak
pada perkembangan intelektual dan psikososial siswa sekolah dasar, hal ini
menunjukkan bahwa mereka mempunyai karakteristik sendiri, di mana dalam proses
berfikirnya, mereka belum dapat dipisahkan dari dunia kongkrit atau hal-hal
yang faktual, sedangkan perkembangan psikososial anak usia sekolah dasar masih
berpijak pada prinsip yang sama di mana mereka tidak dapat dipisahkan dari
hal-hal yang dapat diamati, karena mereka sudah diharapkan pada dunia
pengetahuan.
Pada usia ini
mereka masuk sekolah umum, proses belajar mereka tidak hanya terjadi di
lingkungan sekolah, karena mereka sudah diperkenalkan dalam kehidupan yang
nyata di dalam lingkungan masyarakat. Nasution (1992) mengatakan bahwa masa
kelas tinggi sekolah dasar mempunyai beberapa sifat khas sebagai berikut : (1)
adanya minat terhadap kehidupan praktis sehari-hari yang kongkrit, (2) amat
realistik, ingin tahu dan ingin belajar, (3) menjelang akhir masa ini telah ada
minat terhadap hal-hal dan mata pelajaran khusus, oleh ahli yang mengikuti
teori faktor ditaksirkan sebagai mulai menonjolnya faktor-faktor, (4) pada
umumnya anak menghadap tugas-tugasnya dengan bebas dan berusaha menyelesaikan
sendiri, (5) pada masa ini anak memandang nilai (angka rapor) sebagai ukuran
yang tepat mengenai prestasi sekolah, (6) anak pada masa ini gemar membentuk
kelompok sebaya, biasanya untuk bermain bersama-sama.
Seperti dikatakan
Darmodjo (1992) anak usia sekolah dasar adalah anak yang sedang mengalami
perrtumbuhan baik pertumbuhan intelektual, emosional maupun pertumbuhan
badaniyah, di mana kecepatan pertumbuhan anak pada masing-masing aspek tersebut
tidak sama, sehingga terjadi berbagai variasi tingkat pertumbuhan dari ketiga
aspek tersebut. Ini suatu faktor yang menimbulkan adanya perbedaan individual
pada anak-anak sekolah dasar walaupun mereka dalam usia yang sama.
Dengan
karakteristik siswa yang telah diuraikan seperti di atas, guru dituntut untuk
dapat mengemas perencanaan dan pengalaman belajar yang akan diberikan kepada
siswa dengan baik, menyampaikan hal-hal yang ada di lingkungan sekitar
kehidupan siswa sehari-hari, sehingga materi pelajaran yang dipelajari tidak
abstrak dan lebih bermakna bagi anak. Selain itu, siswa hendaknya diberi
kesempatan untuk pro aktif dan mendapatkan pengalaman langsung baik secara
individual maupun dalam kelompok. Guru juga dituntut untuk harus menjadi
model/teladan yang baik bagi siswa serta guru harus berhati – hati dalam
bersikap, berbicara, dan berbuat karenaa akan sangat bepengaruh terhadap
kepribadian peserta didik.
2.2.2 Teori Perkembangan Psikososial
Teori Erik Erikson tentang perkembangan
manusia dikenal dengan teori perkembangan psiko-sosial. Teori perkembangan
psikososial ini adalah salah satu teori kepribadian terbaik dalam psikologi.
Seperti Sigmund Freud, Erikson percaya bahwa kepribadian berkembang dalam
beberapa tingkatan. Salah satu elemen penting dari teori tingkatan psikososial
Erikson adalah perkembangan persamaan ego. Persamaan ego adalah perasaan sadar
yang kita kembangkan melalui interaksi sosial. Menurut Erikson, perkembangan
ego selalu berubah berdasarkan pengalaman dan informasi baru yang kita dapatkan
dalam berinteraksi dengan orang lain. Erikson juga percaya bahwa kemampuan
memotivasi sikap dan perbuatan dapat membantu perkembangan menjadi positif,
inilah alasan mengapa teori Erikson disebut sebagai teori perkembangan
psikososial.
Ericson memaparkan teorinya melalui konsep polaritas yang
bertingkat/bertahapan. Ada 8 (delapan) tingkatan perkembangan yang akan dilalui
oleh manusia. Menariknya bahwa tingkatan ini bukanlah sebuah gradualitas.
Manusia dapat naik ketingkat berikutnya walau ia tidak tuntas pada tingkat
sebelumnya. Setiap tingkatan dalam teori Erikson berhubungan dengan kemampuan
dalam bidang kehidupan. Jika tingkatannya tertangani dengan baik, orang itu
akan merasa pandai. Jika tingkatan itu tidak tertangani dengan baik, orang itu
akan tampil dengan perasaan tidak selaras.
Dalam setiap tingkat, Erikson percaya setiap orang akan
mengalami konflik/krisis yang merupakan titik balik dalam perkembangan. Erikson
berpendapat, konflik-konflik ini berpusat pada perkembangan kualitas psikologi
atau kegagalan untuk mengembangkan kualitas itu. Selama masa ini, potensi
pertumbuhan pribadi meningkat. Begitu juga dengan potensi kegagalan.
Tahap 1. Trust vs Mistrust (percaya vs tidak
percaya)
§ Terjadi pada
usia 0 s/d 18 bulan.
§ Tingkat pertama
teori perkembangan psikososial Erikson terjadi antara kelahiran sampai usia
satu tahun dan merupakan tingkatan paling dasar dalam hidup.
§ Oleh karena
bayi sangat bergantung, perkembangan kepercayaan didasarkan pada ketergantungan
dan kualitas dari pengasuh kepada anak.
§ Jika anak
berhasil membangun kepercayaan, dia akan merasa selamat dan aman dalam dunia.
Pengasuh yang tidak konsisten, tidak tersedia secara emosional, atau menolak,
dapat mendorong perasaan tidak percaya diri pada anak yang di asuh. Kegagalan
dalam mengembangkan kepercayaan akan menghasilkan ketakutan dan kepercayaan
bahwa dunia tidak konsisten dan tidak dapat di tebak.
Tahap 2. Otonomi (Autonomy) VS malu dan ragu-ragu
(shame and doubt)
§ Terjadi pada
usia 18 bulan s/d 3 tahun.
§ Tingkat ke dua
dari teori perkembangan psikososial Erikson ini terjadi selama masa awal
kanak-kanak dan berfokus pada perkembangan besar dari pengendalian diri.
§ Seperti Freud,
Erikson percaya bahwa latihan penggunaan toilet adalah bagian yang penting
sekali dalam proses ini. Tetapi, alasan Erikson cukup berbeda dari Freud.
Erikson percaya bahwa belajar untuk mengontrol fungsi tubuh seseorang akan
membawa kepada perasaan mengendalikan dan kemandirian.
§ Kejadian-kejadian
penting lain meliputi pemerolehan pengendalian lebih yakni atas pemilihan
makanan, mainan yang disukai, dan juga pemilihan pakaian.
§ Anak yang
berhasil melewati tingkat ini akan merasa aman dan percaya diri, sementara yang
tidak berhasil akan merasa tidak cukup dan ragu-ragu terhadap diri sendiri.
Tahap 3. Inisiatif (Initiative) vs rasa bersalah (Guilt)
§ Terjadi pada
usia 3 s/d 5 tahun.
§ Selama masa
usia prasekolah mulai menunjukkan kekuatan dan kontrolnya akan dunia melalui permainan
langsung dan interaksi sosial lainnya. Mereka lebih tertantang karena menghadapi dunia sosial
yang lebih luas, maka dituntut perilaku aktif dan bertujuan.
§ Anak yang
berhasil dalam tahap ini merasa mampu dan kompeten dalam memimpin orang lain. Adanya
peningkatan rasa
tanggung jawab dan prakarsa.
§ Mereka yang
gagal mencapai tahap ini akan merasakan perasaan bersalah, perasaan ragu-ragu,
dan kurang inisiatif. Perasaan bersalah yang tidak menyenangkan dapat muncul apabila anak tidak
diberi kepercayaan dan dibuat merasa sangat cemas.
§ Erikson yakin
bahwa kebanyakan rasa bersalah dapat digantikan dengan cepat oleh rasa
berhasil.
Tahap 4. Industry vs inferiority (Percaya diri vs rasa rendah diri)
§ Terjadi pada
usia 6 s/d 12 tahun
§ Melalui
interaksi sosial, anak mulai mengembangkan perasaan bangga terhadap
keberhasilan dan kemampuan mereka.
§ Anak yang
didukung dan diarahkan oleh orang tua dan guru membangun perasaan kompeten
dan percaya dengan ketrampilan yang dimilikinya.
§ Anak yang
menerima sedikit atau tidak sama sekali dukungan dari orang tua, guru, atau
teman sebaya akan merasa ragu akan kemampuannya untuk berhasil atau
menimbulkan perasaan rendah diri.
§ Prakarsa yang dicapai
sebelumnya memotivasi mereka untuk terlibat dengan
pengalaman-pengalaman baru.
§ Ketika beralih
ke masa pertengahan dan akhir kanak-kanak, mereka
mengarahkan energi mereka menuju penguasaan pengetahuan dan keterampilan
intelektual. Permasalahan
yang dapat timbul pada tahun sekolah dasar adalah berkembangnya rasa rendah diri, perasaan tidak berkompeten dan tidak produktif.
§ Erikson yakin
bahwa guru memiliki tanggung jawab khusus bagi perkembangan ketekunan
anak-anak.
§ Penanaman nilai
– nilai moral sperti kerjasama, kasih sayang, toleransi, tanggung jawaab,
penghargaan, kedermawanan dan lain sebagainya dapat membantu siswa melewati
fase kritis, sebab lingkungan sosial yang terbentuk dapat memberikan kesempatan
yang luas bagi siswa untuk mengembangkan sikap positifnya.
Tahap 5. Identity vs identify confusion (identitas vs
kebingungan identitas)
§ Terjadi pada
masa remaja, yakni usia 12 s/d 20 tahun
§ Selama remaja
ia mengekplorasi kemandirian dan membangun kepakaan dirinya.
§ Anak dihadapkan
dengan penemuan siapa mereka, bagaimana mereka nantinya, dan kemana mereka
menuju dalam kehidupannya (menuju tahap kedewasaan).
§ Anak dihadapkan
memiliki banyak peran
baru dan status sebagai orang dewasa
–pekerjaan dan romantisme, misalnya, orangtua harus
mengizinkan remaja menjelajahi banyak peran dan jalan yang berbeda dalam suatu
peran khusus.
§ Jika remaja
menjajaki peran-peran semacam itu dengan cara yang sehat dan positif untuk
diikuti dalam kehidupan,
identitas positif akan dicapai.
§ Jika suatu
identitas remaja ditolak oleh orangtua, jika remaja tidak secara memadai menjajaki banyak peran, jika jalan masa
depan positif tidak dijelaskan, maka kebingungan identitas merajalela.
§ Namun bagi
mereka yang menerima dukungan memadai maka eksplorasi personal, kepekaan diri,
perasaan mandiri dan control dirinya akan muncul dalam tahap ini.
§ Bagi mereka
yang tidak yakin terhadap kepercayaan diri dan hasratnya, akan muncul rasa
tidak aman dan bingung terhadap diri dan masa depannya.
Tahap 6. Intimacy vs isolation (keintiman vs
keterkucilan)
§ Terjadi selama
masa dewasa awal (20an s/d 30an tahun)
§ Erikson percaya
tahap ini penting, yaitu tahap seseorang membangun hubungan yang dekat dan siap
berkomitmen dengan orang lain.
§ Mereka yang berhasil
di tahap ini, akan mengembangkan hubungan yang komit dan aman.
§ Erikson percaya
bahwa identitas personal yang kuat penting untuk mengembangkan hubungan yang
intim. Penelitian telah menunjukkan bahwa mereka yang memiliki sedikit kepakaan
diri cenderung memiliki kekurangan komitemen dalam menjalin suatu hubungan dan
lebih sering terisolasi secara emosional, kesendirian dan depresi.
§ Jika mengalami
kegagalan, maka akan muncul rasa keterasingan dan jarak dalam interaksi dengan
orang.
Tahap 7. Generativity vs Stagnation (Bangkit vs
Stagnan)
§ Terjadi selama
masa pertengahan dewasa (40an s/d 50an tahun).
§ Selama masa
ini, mereka melanjutkan membangun hidupnya berfokus terhadap karir dan
keluarga.
§ Mereka yang berhasil
dalam tahap ini, maka akan merasa bahwa mereka berkontribusi terhadap dunia
dengan partisipasinya di dalam rumah serta komunitas.
§ Mereka yang
gagal melalui tahap ini, akan merasa tidak produktif dan tidak terlibat di
dunia ini.
Tahap 8. Integrity vs depair (integritas vs putus
asa)
§ Terjadi selama
masa akhir dewasa (60an tahun)
§ Selama fase ini
cenderung melakukan cerminan diri terhadap masa lalu.
§ Mereka yang
tidak berhasil pada fase ini, akan merasa bahwa hidupnya percuma dan mengalami
banyak penyesalan.
§ Individu akan
merasa kepahitan hidup dan putus asa
§ Mereka yang
berhasil melewati tahap ini, berarti ia dapat mencerminkan keberhasilan dan
kegagalan yang pernah dialami.
§ Individu ini
akan mencapai kebijaksaan, meskipun saat menghadapi kematian.
Hal
tersebut berkaitan dengan perkembangan dan perubahan emosi individu. J.Havighurst mengemukakan bahwa setiap perkembangan individu harus
sejalan dengan perkembangan aspek lain seperti di antaranya adalah aspek
psikis, moral dan sosial.
Menjelang
masuk SD, anak telah Mengembangkan keterampilan berpikir bertindak dan pengaruh
sosial yang lebih kompleks. Sampai dengan masa ini, anak pada dasarnya egosentris
(berpusat pada diri sendiri) dan dunia mereka adalah rumah keluarga, dan
taman kanak‐kanaknya.
Selama
duduk di kelas kecil SD, anak mulai percaya diri tetapi juga sering
rendah
diri. Pada tahap ini mereka mulai mencoba membuktikan bahwa mereka
"dewasa". Mereka merasa "saya dapat mengerjakan sendiri tugas
itu, karenanya tahap ini disebut tahap "I can do it my self".
Mereka sudah mampu untuk diberikan
suatu
tugas.
Daya
konsentrasi anak tumbuh pada kelas kelas besar SD. Mereka dapat meluangkan
lebih banyak waktu untuk tugas tugas pilihan mereka, dan seringkali mereka
dengan senang hati menyelesaikannya. Tahap ini juga termasuk tumbuhnya tindakan
mandiri, kerjasama dengan kelompok dan bertindak menurut cara cara yang dapat
diterima lingkungan mereka. Mereka juga mulai peduli pada permainan yang jujur.
Selama
masa ini mereka juga mulai menilai diri mereka sendiri dengan membandingkannya
dengan orang lain. Anak anak yang lebih mudah menggunakan perbandingan sosial (social
comparison) terutama untuk norma‐norma
sosial dan kesesuaian jenis‐jenis tingkah laku tertentu. Pada
saat anak‐anak tumbuh semakin lanjut, mereka cenderung menggunakan
perbandingan sosial untuk mengevaluasi dan menilai kemampuan kemampuan mereka
sendiri.
Sebagai
akibat dari perubahan struktur fisik dan kognitif mereka, anak pada kelas besar
di SD berupaya untuk tampak lebih dewasa. Mereka ingin diperlakukan sebagai
orang dewasa.Terjadi perubahan perubahan yang berarti dalam kehidupan sosial
dan emosional mereka. Di kelas besar SD anak laki‐laki
dan perempuan menganggap keikutsertaan dalam kelompok menumbuhkan perasaan
bahwa dirinya berharga. Tidak diterima dalam kelompok dapat membawa pada
masalah emosional yang serius Teman‐teman
mereka menjadi lebih penting daripada sebelumnya. Kebutuhan untuk diterima oleh
teman sebaya sangat tinggi. Remaja sering berpakaian serupa. Mereka menyatakan
kesetiakawanan mereka dengan anggota kelompok teman sebaya
melalui pakaian atau perilaku.
Hubungan
antara anak dan guru juga seringkali berubah. Pada saat di SD kelas rendah,
anak dengan mudah menerima dan bergantung kepada guru. Di awal awal tahun kelas
besar SD hubungan ini menjadi lebih kompleks. Ada siswa yang menceritakan
informasi pribadi kepada guru, tetapi tidak mereka ceritakan kepada orang tua
mereka. Beberapa anak pra remaja memilih guru mereka sebagai model.
Sementara
itu, ada beberapa anak membantah guru dengan cara cara yang tidak mereka
bayangkan beberapa tahun sebelumnya. Malahan, beberapa anak mungkin secara
terbuka menentang gurunya.
Salah
satu tanda mulai munculnya perkembangan identitas remaja adalah reflektivitas
yaitu kecenderungan untuk berpikir tentang apa yang sedang berkecamuk dalam
benak mereka sendiri dan mengkaji diri sendiri. Mereka juga mulai menyadari
bahwa ada perbedaan antara apa yang mereka pikirkan dan mereka rasakan serta
bagaimana mereka berperilaku.
Mereka
mulai mempertimbangkan kemungkinan‐kemungkinan.
Remaja mudah dibuat tidak puas oleh diri mereka sendiri. Mereka mengkritik
sifat pribadi mereka, membandingkan diri mereka dengan orang lain, dan mencoba
untuk mengubah perilaku mereka. Pada remaja usia 18 tahun sampai 22 tahun,
umumnya telah mengembangkan suatu status pencapaian identitas.
Adapun peranan guru dalam pembelajaraan psikososial di
Sekolah Dasar, anatara lain:
ü Guru/ pendidik
hendaknya membekali peserta didik dengan nilai – nilai moral yang akan
membentuk karakter siwa menuju sikap positif siswa.
ü Nilai-nilai
moral ini haarus ditanamkan agar siswa memiliki kepekaan sosial yang tinggi
sehingga lingkungan sosial yang positif jugaa dapat terbentuk. Hal ini dapat
membantu rasa percaya dirinya yang kuat dan karakter yang positif.
2.3.3 Teori Perkembangan Moral
Dewey pernah membagikan proses perkembangan moral atas 3 tahap
yaitu: tahap pramoral, tahap konvensional dan tahap otonom.
Selanjutnya Piaget berhasil melukiskan dan mengolongkan seluruh
pemikiran moral anak seturut kerangka pemikiran Dewey: (1) tahap “pramoral”,
anak belum menyadari ketertikatannya pada aturan; (2) tahap “konvensional”,
dicirikan oleh ketaatan pada kekuasaan; (3) tahap “otonom”, bersifat
keterikatan pada aturan yang didasarkan pada resiprositas. Berdasarkan pada
penelitiannya, Lawrence Kohlberg berhasil memperlihatkan 6 tahap
dalam seluruh proses berkembangnya pertimbangan moral anak dan orang muda.
Keenam tipe ideal itu diperoleh dengan mengubah tiga tahap Piaget/Dewey dan
menjadikannya tiga “tingkat” yang masing-masing dibagi lagi atas dua “tahap”.
ketiga “tingkat” itu adalah tingkat prakonvensional, konvensional dan
pasca-konvensional.
Meski anak prakonvensional sering kali berperilaku
“baik” dan tanggap terhadap label-label budaya mengenai baik dan buruk, namun
ia menafsirkan semua label ini dari segi fisiknya (hukuman, ganjaran
kebaikan) atau dari segi kekuatan fisik mereka yang mengadakan peraturan
dan menyebut label tentang yang baik dan yang buruk. Tingkat ini biasanya ada pada anak-anak
yang berusia empat hingga sepuluh tahun.
Tingkat kedua atau tingkat konvensional juga dapat
digambarkan sebagai tingkat konformis, meskipun istilah itu mungkin terlalu sempit.
Pada tingkat ini, anak hanya menuruti harapan keluarga, kelompok atau bangsa,
dan dipandangnya sebagai hal yang bernilai dalam dirinya, tanpa mengindahkan
akibat yang segera dan nyata. Individu tidak hanya berupaya menyesuaikan diri
dengan tatanan sosialnya, tetapi juga untuk mempertahankan, mendukung dan
membenarkan tatanan sosial itu.
Tingkat pasca-konvensional dicirikan oleh dorongan
utama menuju ke prinsip-prinsip moral otonom, mandiri, yang memiliki validitas
dan penerapan, terlepas dari otoritas kelompok-kelompok atau pribadi-pribadi
yang memegangnya dan terlepas pula dari identifikasi si individu dengan
pribadi-pribadi atau kelompok-kelompok tersebut. Pada tingkat ini terdapat
usaha yang jelas untuk merumuskan nilai-nilai dan prinsip moral yang memiliki
keabsahan dan dapat diterapkan terlepas dari otoritas kelompok atau orang yang
berpegang pada prinsip-prinsip itu.
Tahap - Tahap Moral :
Pada tingkat Prakonvensional kita menemukan:
Tahap I – Orientasi hukuman dan kepatuhan: Orientasi
pada hukuman dan rasa hormat yang tak dipersoalkan terhadap kekuasan yang lebih
tinggi. Akibat fisik tindakan, terlepas arti atau nilai manusiawinya,
menentukan sifat baik dan sifat buruk dari tindakan ini.
Tahap 2 – Orientasi relativis-intrumental:
Perbuatan yang benar adalah perbuatan yang secara instrumental memuaskan
kebutuhan individu sendiri dan kadang-kadang kebutuhan orang lain. Hubungan
antarmanusia dipandang seperti hubungan di tempat umum. Terdapat unsur-unsur
kewajaran, timbal-balik, dan persamaan pembagian, akan tetapi semuanya itu
selalu ditafsirkan secara fisis pragmatis, timbal-balik adalah soal ”Jika
anda menggaruk punggungku, nanti aku akan menggaruk punggungmu”, dan ini bukan
soal kesetiaan, rasa terima kasih atau keadilan.
Pada tingkat Konvensional kita menemukan:
Tahap 3 – Orientasi kesepakatan antara pribadi
atau Orientasi ”Anak manis”: Orientasi ”anak manis”. Perilaku yang baik
adalah perilaku yang menyenangkan atau membantu orang lain, dan yang disetujui
oleh mereka. Terdapat banyak konformitas dengan gambaran-gambaran stereotip
mengenai apa yang diangap tingkah laku mayoritas atau tingkah laku yang
’wajar’. Perilaku kerap kali dinilai menurut niat, ungkapan ”ia bermaksud baik”
untuk pertama kalinya menjadi penting dan digunakan secara berlebih-lebihan.
Orang mencari persetujuan dengan berperilaku ”baik”.
Adapun ciri – ciri Tahap Orientasi Anak Manis :
· Anak SD/MI sudah mampu melakukan
penalaran moral melalui struktur kognitifnya, yakni dengan melakukan penalaran
moral.
· Penalaran moral anak usia SD/MI dapat
dilakukan melalui contoh kisah teladan.
· Dengan kemampuan penalaran moral inilah
maka nilai, moral, dan norma akan mempribadi dalam diri peserta didik.
· Penanaman nilai dan moral dapat dilakukan
melalui “ Pendekatan dilema moral ” dalam pembelajaraan.
· Menurut Kohlberg, dilema moral dapat
digunakan untuk menunjukkan tingkat penalaran moral anak, tetapi hanya setahap
demi setahap.
Tahap 4 – Orientasi hukum dan ketertiban:
Orientasi kepada otoritas, peraturan yang pasti dan pemeliharaan tata aturan
sosial. Perbuatan yang benar adalah menjalankan tugas, memperlihatkan rasa
hormat terhadap otoritas, dan pemeliharaan tata aturan sosial tertentu demi
tata aturan itu sendiri. Orang mendapatan rasa hormat dengan berperilaku
menurut kewajibannya.
Pada tingkat Pasca-Konvensional kita melihat:
Tahap 5 – Orientasi kontrak sosial legalistis:
Suatu orientasi kontrak sosial, umumnya bernada dasar legalistis dan
utilitarian. Perbuatan yang benar cenderung didefinisikan dari segi hak-hak
bersama dan ukuran-ukuran yang telah diuji secara kritis dan disepakati oleh
seluruh masyarakat. Terdapat suatu kesedaran yang jelas mengenai relativisme
nilai-nilai dan pendapat-pedapat pribadi serta suatu tekanan pada prosedur yang
sesuai untuk mencapai kesepakatan. terlepas dari apa yang disepakati secara
konstitusional dan demokratis, yang benar dan yang salah merupakan soal ”nilai”
dan ”pendapat” pribadi. hasilnya adalah suatu tekanan atas ”sudut pandangan legal”,
tetapi dengan menggarisbawahi kemungkinan perubahan hukum berdasarkan
pertimbangan rasional mengenai kegunaan sodial dan bukan membuatnya beku dalam
kerangka ”hukum dan ketertiban” seperti pada gaya tahap 4. Di luar bidang
legal, persetujuan dan kontrak bebas merupakan unsur-unsur pengikat unsur-unsur
kewajiban. Inilah moralitas ”resmi” pemerintahan Amerika Serikat dan
mendapatkan dasar alasannya dalam pemikiran para penyusun Undang-Undang.
Tahap 6 – Orientasi Prinsip Etika Universal:
Orientasi pada keputusan suara hati dan pada prinsip-prinsip etis yang dipilih
sendiri, yang mengacu pada pemaham logis, menyeluruh, universalitas dan
konsistensi. Prinsip-prinsip ini bersifat abstrak dan etis (kaidah emas,
kategoris imperatif). Prinsip-prinsip itu adalah prinsip-prinsip universal
mengenai keadilan, timbal-balik, dan persamaan hak asasi manusia, serta rasa
hormat terhadap martabat manusia sebai person individual.
Adapun peranan
guru dalam pembelajaran moral, antara lain :
· Guru hendaknya mengajarkan nila dan moral setahap demi setahap melalui
pendekatan Kisah Teladan, Dilema Moral, dan Keteladanan.
· Guru harus memberikan stimulus agar peserta didiknya terdorong untuk
bersikap dan berperilaku sesuai dengan nilai, moral dan norma yang ada.
· Pemberian pjian atau hukuman secara spontan pada setiap perilaku
siswaa yang kurang baik atau yang baik sangat diperlukan untuk merangsang
perkembangan moral siswa.
2.4 Pembelajaran
Anak di Sekolah Dasar
Pada penerapan pembelajaran siswa di
SD hendaknya dilakukan sebuah pembelajaran yang sesuai dengan
karakteristik yang dimiliki dan kebutuhan yang diperlukan oleh anak usia
SD karena hal ini dapat menumbuhkan kembangkan potensi peserta didik dan
menumbuhkan semangat belajar anak SD, seperti contoh :
1. Anak usia SD Senang bermain
Maksudnya dalam
usia yang masih dini anak cenderung untuk ingin bermain dan menghabiskan waktunya hanya untuk bermain karena anak masih polos yang dia
tahu hanya bermain maka dari itu agar tidak megalami masa kecil kurang bahagia
anak tidak boleh dibatasi dalam bermain.
Peranan guru SD yaitu harus mengetahui karakter anak sehingga dalam penerapan metode atau model
pembelajaran bisa sesuai dan mencapai sasaran, misalnya model
pembelajaran yang santai namun serius, bermain sambil belajar, serta dalam
menyusun jadwal pelajaran yang berat(IPA, matematika dll.) dengan
diselingi pelajaran yang ringan(keterampilan, olahraga dll.)
2. Anak usia SD Senang bergerak
Anak senang
bergerak maksudnya dalam masa pertumbuhan fisik dan mentalnya anak menjadi hiperaktif lonjak kesana kesini bahkan seperti merasa tidak capek
mereka tidak mau diam dan duduk saja menurut pengamatan para ahli anak duduk
tenang paling lama sekitar 30 menit. Peranan guru SD hendaknya merancang model pembelajaran yang memungkinkan anak berpindah atau
bergerak. Mungkin dengan permaianan, olahraga dan lain sebagainya.
3. Anak usia SD Senang bekerja
dalam kelompok
Anak senang
bekerja dalam kelompok maksudnya sebagai seorang manusia,
anak-anak juga mempunyai insting sebagai makhluk social yang bersosialisasi dengan orang lain terutama teman sebayanya, terkadang mereka membentuk suatu kelomppok tertentu untuk bermain. Dalam kelompok tersebut anak dapat belajar memenuhi aturan aturan kelompok, belajar setia kawan, belajar tidak tergantung pada diterimanya dilingkungan, belajar menerimanya tanggung jawab, belajar bersaing dengan orang lain secara sehat (sportif), mempelajarai olah raga, belajar keadilan dan demokrasi. Peranan guru SD yaitu dapat membuat suatu kelompok kecil misalnya 3-4 anak agar lebih mudah mengkoordinir karena terdapat banyak perbedaan pendapat dan sifat dari anak - anak tersebut dan mengurangi pertengkaran antar anak dalam satu kelompok. Kemudian anak tersebut diberikan tugas untuk mengerjakannya bersama, disini anak harus bertukar pendapat anak menjadi lebih menghargai pendapat orang lain juga.
anak-anak juga mempunyai insting sebagai makhluk social yang bersosialisasi dengan orang lain terutama teman sebayanya, terkadang mereka membentuk suatu kelomppok tertentu untuk bermain. Dalam kelompok tersebut anak dapat belajar memenuhi aturan aturan kelompok, belajar setia kawan, belajar tidak tergantung pada diterimanya dilingkungan, belajar menerimanya tanggung jawab, belajar bersaing dengan orang lain secara sehat (sportif), mempelajarai olah raga, belajar keadilan dan demokrasi. Peranan guru SD yaitu dapat membuat suatu kelompok kecil misalnya 3-4 anak agar lebih mudah mengkoordinir karena terdapat banyak perbedaan pendapat dan sifat dari anak - anak tersebut dan mengurangi pertengkaran antar anak dalam satu kelompok. Kemudian anak tersebut diberikan tugas untuk mengerjakannya bersama, disini anak harus bertukar pendapat anak menjadi lebih menghargai pendapat orang lain juga.
4. Anak usia SD Senang merasakan/
melakukan sesuatu secara langsung
Ditinjau dari
teori perkembangan kognitif, anak SD memasuki tahap operasional
konkret. Dari apa yang dipelajari di sekolah, ia belajar menghubungkan konsep
konsep baru dengan konsep-konsep lama. Jadi dalam pemahaman anak SD semua materi atau pengetahuan yang diperoleh harus dibuktikan dan dilaksanakan sendiri agar mereka bisa paham dengan konsep awal yang diberikan. Berdasarkan pengalaman ini, siswa membentuk konsep-konsep tentang angka, ruang, waktu, fungsi-fungsi badan, pera jenis kelamin, moral, dan sebagainya. Peranan guru SD hendaknya merancang model pembelajaran yang memungkinkan anak terlibat langsung dalam proses pembelajaran. Sebagai contoh anak akan lebih memahami tentang arah mata angin, dengan cara membawa anak langsung keluar kelas, kemudian menunjuk langsung setiap arah angin, bahkan dengan sedikit menjulurkan lidah akan diketahui secara persis dari arah mana angin saat itu bertiup.
konkret. Dari apa yang dipelajari di sekolah, ia belajar menghubungkan konsep
konsep baru dengan konsep-konsep lama. Jadi dalam pemahaman anak SD semua materi atau pengetahuan yang diperoleh harus dibuktikan dan dilaksanakan sendiri agar mereka bisa paham dengan konsep awal yang diberikan. Berdasarkan pengalaman ini, siswa membentuk konsep-konsep tentang angka, ruang, waktu, fungsi-fungsi badan, pera jenis kelamin, moral, dan sebagainya. Peranan guru SD hendaknya merancang model pembelajaran yang memungkinkan anak terlibat langsung dalam proses pembelajaran. Sebagai contoh anak akan lebih memahami tentang arah mata angin, dengan cara membawa anak langsung keluar kelas, kemudian menunjuk langsung setiap arah angin, bahkan dengan sedikit menjulurkan lidah akan diketahui secara persis dari arah mana angin saat itu bertiup.
5. Anak usia SD Anak cengeng
Pada umur anak SD,
anak masih cengeng dan manja. Mereka selalu ingin
diperhatikan dan dituruti semua keinginannya mereka masih belum mandiri dan harus selalu dibimbing. Peranan guru SD yaitu membuat metode pembelajaran tutorial atau metode bimbingan agar kita dapat selalu membimbing dan mengarahkan anak, membentuk mental anak agar tidak cengeng.
diperhatikan dan dituruti semua keinginannya mereka masih belum mandiri dan harus selalu dibimbing. Peranan guru SD yaitu membuat metode pembelajaran tutorial atau metode bimbingan agar kita dapat selalu membimbing dan mengarahkan anak, membentuk mental anak agar tidak cengeng.
6. Anak usia SD Anak sulit memahami isi pembicaraan orang lain
Pada pendidikan
dasar yaitu SD, anak susah dalam memahami apa yang diberikan guru. Peranan guru SD
harus dapat membuat atau menggunakan metode yang tepat
misalnya dengan cara metode ekperimen agar anak dapat memahami
pelajaran yang diberikan dengan menemukan sendiri inti dari
pelajaran yang diberikan sedangkan dengan ceramah yang dimana guru Cuma berbicara
didepan membuat anak malah tidak memahami isi dari apa yang dibicarakan oleh
gurunya.
7. Anak usia SD Senang
diperhatikan
Di dalam suatu
interaksi social anak biasanya mencari perhatian teman atau
gurunya mereka senang apabila orang lain memperhatikannya, dengan berbagai cara
dilakukan agar orang memperhatikannya. Peran guru SD untuk mengarahkan perasaan anak tersebut dengan menggunakan metode tanya jawab misalnya, anak yang ingin diperhikan akan berusaha menjawab atau bertanya dengan guru agar anak lain beserta guru memperhatikannya.
gurunya mereka senang apabila orang lain memperhatikannya, dengan berbagai cara
dilakukan agar orang memperhatikannya. Peran guru SD untuk mengarahkan perasaan anak tersebut dengan menggunakan metode tanya jawab misalnya, anak yang ingin diperhikan akan berusaha menjawab atau bertanya dengan guru agar anak lain beserta guru memperhatikannya.
8. Anak usia SD Senang meniru
Dalam kehidupan
sehari hari anak mencari suatu figur yang sering dia lihat
dan dia temui. Mereka kemudian menirukan apa yang dilakukan dan dikenakan orang yang ingin dia tiru tersebut. Dalam kehidupan nyata banyak anak yang terpengaruh acara televisi dan menirukan adegan yang dilakukan disitu, misalkan acara smack down yang dulu ditayangkan sekarang sudah ditiadakan karena ada berita anak yang melakukan gerakan dalam smack down pada temannya, yang akhirnya membuat temannya terluka. Namun sekarang acara televisi sudah dipilah-pilah utuk siapa acara itu ditonton sebagai calon guru kita hanya dapat mengarahkan orang tua agar selalu mengawasi anaknya saat dirumah. Contoh lain yang biasanya ditiru adalah seorang guru yang menjadi pusat perhatian dari anak didiknya. Peranan guru SD harus menjaga tindakan, sikap, perkataan, penampilan yang bagus dan rapi agar dapat memberikan contoh yang baik untuk anak didik kita.
dan dia temui. Mereka kemudian menirukan apa yang dilakukan dan dikenakan orang yang ingin dia tiru tersebut. Dalam kehidupan nyata banyak anak yang terpengaruh acara televisi dan menirukan adegan yang dilakukan disitu, misalkan acara smack down yang dulu ditayangkan sekarang sudah ditiadakan karena ada berita anak yang melakukan gerakan dalam smack down pada temannya, yang akhirnya membuat temannya terluka. Namun sekarang acara televisi sudah dipilah-pilah utuk siapa acara itu ditonton sebagai calon guru kita hanya dapat mengarahkan orang tua agar selalu mengawasi anaknya saat dirumah. Contoh lain yang biasanya ditiru adalah seorang guru yang menjadi pusat perhatian dari anak didiknya. Peranan guru SD harus menjaga tindakan, sikap, perkataan, penampilan yang bagus dan rapi agar dapat memberikan contoh yang baik untuk anak didik kita.
Dilihat
dari karakeristik Perkembangan Kognitif, pembelajaran untuk siswa
di SD harus diarahkan pada konsep – konsep yang bersifat konkret
dan menyangkut dunia keseharian siswa dan jangan mengajarkan siswa dengan
contoh – contoh yang abstrak. Pembelajaran untuk siswa di SD harus ditekankan
pada penanaman nilai – nilai oleh guru kepada siswa dilakukan melalui
keteladanan. Siswa membutuhkan contoh keteladanan melalui sikap yang
ditunjukkan oleh guru/pendidik dan bukan contoh yang berupa kata – kata maupun
konsep yang abstrak. Adapun peranan guru dalam Pembelajaran anak di SD yaitu
dalam pembelajaran hendaknya sekonkret mungkin baik dalam menjelaskan maupun
memberikan contoh dan sebanyak mungkin melibatkan pengalaman – pengalaman fisik
siswa.
Dilihat
dari karakteristik Perkembangan Psikososial, pembelajaran seharusnya
membentuk rasa kepercayaan diri peserta didik pada usia SD/MI karena mulai
mengembangkan kemampuan berfikir dan konsep dirinya. Apabila pada tahap ini
anak gagal membentuk kepercayaan dirinya maka anak tersebut akan memiliki
konsep diri negative atau rendah diri. Dalam pembelajaran interaksi siswa
dengan teman sebaya menjadi sangat penting, sebab jika anak mampu untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungan, dapat membawa siswa kearah pengembangan
rasa mampu ( percaya diri ). Penanaman nilai – nilai moral seperti kerjasama, kasih sayang, toleransi, tanggung jawab, penghargaan,
kedermawanan dan lain sebagainya dapat membantu siswa melewati fase kritis,
sebab lingkungan sosial yang terbentuk dapat memberikan kesempatan yang luas
bagi siswa untuk mengembangkan sikap positifnya. Guru/pendidik hendaknya
membekali peserta didik dengan nilai – nilai moral yang akan membentuk karakter
siwa menuju sikap positif siswa. Nilai-nilai moral ini haarus ditanamkan agar
siswa memiliki kepekaan sosial yang tinggi sehingga lingkungan sosial yang
positif jugaa dapat terbentuk. Hal ini dapat membantu rasa percaya dirinya yang
kuat dan karakter yang positif.
Dilihat
dari karakteristik Perkembangan Moral, pembelajaran dengan menumbuhkan penalaran moral pada siswa SD dengan mengaitkan kisah-
kisah tauladan seorang tokoh dalam suatu materi pelajaran. Guru
hendaknya mengajarkan nilai dasar setahap demi setahap melalui pendekatan kisah
teladan, dilema moral, dan keteladanan. Guru harus memberikan stimulasi agar
peserta didiknya terdorong untuk bersikap dan berprilaku sesuai dengan nilai,
moral dan norma yang ada. Pemberian pujian atau hukuman secara spontan pada
setiap perilaku siswa yang kurang baik atau yang baik sangat diperlukan untuk
merangsang perkembangan moral siswa.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pembelajaran di SD
hendaknya:
1. Menyesuaikan
karakteristik yang dimiliki oleh anak usia SD
2. Mengaitkan hal-hal
yang bersifat konkret pada setiap pembelajaran dengan tidak melibatkan hal-hal
yang abstrak yang dapat membingungkan anak SD
3. Menumbuhkan rasa
percaya diri sedini mungkin sehingga meminimalisir timbulnya rasa rendah diri
pada siswa SD
4. Memberikan contoh
kisah keteladanan para tokoh yang diterapkan langsung oleh guru SD dalam setiap
pembelajaran
3.2 Saran
Diharapkan mahasiswa dapat menerapkan pembelajaran anak
di Sekolah Dasar dengan menyesuaikan krakteristik yang dimiliki oleh siswa SD.
DAFTAR
PUSTAKA
Mujtahidin,S.Pd.,
M.Pd. 2012. Teori Belajar dan Pembelajaran. Bangkalan: Universiitas
Trunojoyo Madura.
Sri
Anitah, dkk. 2008. Strategi Pembelajaran di SD. Jakarta:
Universitas Terbuka
Udin
S. Winataputra, dkk. 2007. Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta:
Universitas Terbuka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar