Isnani Rosyianti

Yang dengan sejuta impian, ingin mewarnai dunia dengan penuh semangat dan tak kenal lelah...

Yang ingin menjadi insan bermanfaat dimanapun ia berada...

Just Keep ur spirit...

do the best and be ur self ^.^

Senin, 13 Oktober 2014

Makalah pembelajaran anak di SD

BAB I
PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang
Anak adalah titipan tuhan yang harus kita jaga dan kita didik agar ia menjadi manusia yang berguna dan tidak menyusahkan siapa saja. Secara umum anak mempunyai hak dan kesempatan untuk berkembang sesuai potensinya terutama dalam bidang pendidikan.
Setiap anak dilahirkan bersamaan dengan potensi-potensi yang dimilikinya. Tak ada satu pun yang luput dari Pengawasan dan Kepedulian-Nya. Hal ini merupakan tugas orang tua dan guru untuk dapat menemukan potensi tersebut. Syaratnya adalah penerimaan yang utuh terhadap keadaan anak.
Dalam bidang pendidikan seorang anak dari lahir memerlukan pelayanan yang tepat dalam pemenuhan kebutuhan pendidikan disertai dengan Pemahaman mengenai karakteristik anak sesuai pertumbuhan dan perkembangannya akan sangat membantu dalam menyesuaikan proses belajar bagi anak dengan usia, kebutuhan, dan kondisi masing-masing, baik secara intelektual, emosional dan sosial.


Masa usia Sekolah Dasar  merupakan periode emas (golden age) bagi perkembangan anak untuk memperoleh proses pendidikan. Periode ini adalah tahun-tahun berharga bagi seorang anak untuk mengenali berbagai macam fakta di lingkungannya sebagai stimulans terhadap perkembangan aspek kepribadian, kognitif,  psikososial, maupun moralnya.
Untuk itu pendidikan anak untuk usia Sekolah Dasar dalam bentuk  pemberian rangsangan-rangsangan (stimulasi) dari lingkungan terdekat sangat diperlukan untuk mengoptimalkan kemampuan anak.
Pembentukan kemampuan siswa di sekolah dipengaruhi oleh proses belajar yang ditempuhnya. Proses belajar akan terbentuk berdasarkan pandangan dan pemahaman guru tentang karakteristik siswa dan juga hakikat pembelajaran.
Dengan demikian, proses belajar perlu disesuaikan dengan tingkat perkembangan siswa. Untuk mendukung hal tersebut, diperlukan pemahaman para guru mengenai rentang usia, karakteristik perkembangan dalam aspek kognitif, psikososial dan moral serta proses pembelajaran yang efektif untuk siswa Sekolah Dasar.



1.2  Rumusan Masalah 

1)      Berapa Rentang usia anak Sekolah Dasar ?
2)      Bagaimana karakteristik perkembangan anak usia Sekolah Dasar, berdasarkan :
a.       Teori Perkembangan Kognitif ;
b.      Teori Perkembangan Psikososial ; dan
c.       Teori Perkembangan Moral ?
3)      Bagaimana Pembelajaran Anak di Sekolah Dasar beradasarkan perkembangan kognitif, psikososial, dan moral anak usia SD ?

1.3  Tujuan
Adapun tujuan penulisan Makalah ini adalah sebagai berikut :
1)        Memenuhi salah satu tugas mata kuliah Teori Belajar dan Pembelajaran.
2)        Mengetahui  rentang usia anak Sekolah Dasar dan karakteristik yang dimilikinya serta peran guru dalam pembelajaran anak usia Sekolah Dasar.
3)        Mengetahui karakteristik perkembangan usia Sekolah Dasar, berdasarkan : Teori Perkembangan Kognitif, Teori Perkembangan Psikososial, dan Teori Perkembangan Moral.
4)        Mengetahui Pembelajaran Anak di Sekolah Dasar.

1.4  Manfaat

1)      Memudahkan mahasiswa dalam memahami karakteristik perkembangan anak Sekolah Dasar.
2)      Memberikan pandangan kepada mahasiswa dalam melakukan Pembelajaran  Anak di Sekolah Dasar
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Rentang Usia Anak Sekolah Dasar
Masa usia sekolah dasar sebagai masa kanak-kanak akhir yang berlangsung dari usia enam tahun hingga kira-kira usia sebelas tahun atau dua belas tahun. Karakteristik utama siswa sekolah dasar adalah mereka menampilkan perbedaan-perbedaan individual dalam banyak segi dan bidang, di antaranya, perbedaan dalam intelegensi, kemampuan dalam kognitif dan bahasa, perkembangan kepribadian dan perkembangan fisik anak.
Tingkatan kelas di sekolah dasar dapat dibagi menjadi dua, yaitu kelas rendah dan kelas tinggi. Kelas rendah terdiri dari kelas satu, dua, dan tiga, sedangkan kelas-kelas tinggi terdiri dari kelas empat, lima, dan enam (Supandi, dalam Anitah, dkk., 2008).  Di Indonesia, rentang usia siswa SD, yaitu antara 6 atau 7 tahun sampai 12 tahun. Usia siswa pada kelompok kelas rendah, yaitu 6 atau 7 sampai 8 atau 9 tahun. Siswa yang berada pada kelompok ini termasuk dalam rentangan anak usia dini. Masa usia dini ini merupakan masa yang pendek tetapi sangat penting bagi kehidupan seseorang. Oleh karena itu, pada masa ini seluruh potensi yang dimiliki anak perlu didorong sehingga akan berkembang secara optimal.

2.2 Karakteristik Perkembangan Anak Usia Sekolah Dasar
Siswa Sekolah Dasar merupakan individu unik yang memiliki karakteristik tertentu yang bersifat khas dan spesifik. Pada dasarnya setiap siswa adalah individu yang berkembang. Perkembangan siswa akan dinamis sepanjang hayat mulai dari kelahiran sampai akhir hayat, Dalam hal ini pendidikan maupun pembelajaran sangat dominan memberikan konstribusi untukek membantu dan mengarahkan perkembangan siswa supaya menjadi positif dan optimal. Setiap siswa memiliki irama dan kecepatan perkembangan yang berbeda – beda dan bersifat individual.
Perkembangan siswa merupakan salah satu aspek yang harus diperhatikan dalam proses belajar. Seluruh aktifitas proses belajar harus berpusat pada kebutuhan siswa (child centered) dan pada aspek tuntutan masyarakat (society centered). Fase – fase perkembangan yang dialami siswa harus dipahami oleh guru supaya dalam pembelajaran tidak mengalami hambatan psikologis yang mengakibatkan hasil belajar tidak optimal.
Perkembangan siswa sekolah dasar usia 6-12 tahun yang termasuk pada perkembangan masa pertengahan (middle childhood) memiliki fase-fase yang unik dalam perkembangannya yang menggambarkan peristiwa penting bagi siswa yang bersangkutan. Tahap perkembangan siswa dapat dilihat dari aspek Kognitif, Psikososial, dan Moral.

2.2.1 Teori Perkembangan Kognitif
Dalam praktek pembelajaran, teori kognitif antara lain tampak dalam rumusan-rumusan seperti: “Tahap-tahap perkembangan” yang dikemukakan oleh J. Piaget, Advance organizer oleh Ausubel, Pemahaman konsep oleh Bruner, Hirarki belajar oleh Gagne, Webteaching oleh Norman, dan sebagainya. Berikut akan diuraikan lebih rinci beberapa pandangan mereka.
Jean Piaget membagi perkembangan kognitif anak ke dalam 4 periode utama yang berkorelasi dengan dan semakin canggih seiring pertambahan usia :
1.      Periode sensorimotor (usia 0–2 tahun)
2.      Periode praoperasional (usia 2–7 tahun)
3.      Periode operasional konkrit (usia 7–11 tahun)
4.      Periode operasional formal (usia 11 tahun sampai dewasa)

1. Periode sensorimotor
Menurut Piaget, bayi lahir dengan sejumlah refleks bawaan selain juga dorongan untuk mengeksplorasi dunianya. Skema awalnya dibentuk melalui diferensiasi refleks bawaan tersebut. Periode sensorimotor adalah periode pertama dari empat periode. Piaget  berpendapat bahwa tahapan ini menandai perkembangan kemampuan dan pemahaman spatial penting dalam enam sub-tahapan:
a.       Sub-tahapan skema refleks, muncul saat lahir sampai usia enam minggu dan berhubungan terutama dengan refleks.
b.      Sub-tahapan fase reaksi sirkular primer, dari usia enam minggu sampai empat bulan dan berhubungan terutama dengan munculnya kebiasaan-kebiasaan.
c.       Sub-tahapan fase reaksi sirkular sekunder, muncul antara usia empat sampai sembilan bulan dan berhubungan terutama dengan koordinasi antara penglihatan dan pemaknaan.
d.      Sub-tahapan koordinasi reaksi sirkular sekunder, muncul dari usia sembilan sampai duabelas bulan, saat berkembangnya kemampuan untuk melihat objek sebagai sesuatu yang permanen walau kelihatannya berbeda kalau dilihat dari sudut berbeda (permanensi objek).
e.       Sub-tahapan fase reaksi sirkular tersier, muncul dalam usia dua belas sampai delapan belas bulan dan berhubungan terutama dengan penemuan cara-cara baru untuk mencapai tujuan.
f.       Sub-tahapan awal representasi simbolik, berhubungan terutama dengan tahapan awal kreativitas.

2.      Tahapan praoperasional
Tahapan ini merupakan tahapan kedua dari empat tahapan. Dengan mengamati urutan permainan, Piaget bisa menunjukkan bahwa setelah akhir usia dua tahun jenis yang secara kualitatif baru dari fungsi psikologis muncul. Pemikiran (Pra)Operasi dalam teori Piaget adalah prosedur melakukan tindakan secara mental terhadap objek-objek. Ciri dari tahapan ini adalah operasi mental yang jarang dan secara logika tidak memadai. Dalam tahapan ini, anak belajar menggunakan dan merepresentasikan objek dengan gambaran dan kata-kata. Pemikirannya masih bersifat egosentris: anak kesulitan untuk melihat dari sudut pandang orang lain. Anak dapat mengklasifikasikan objek menggunakan satu ciri, seperti mengumpulkan semua benda merah walau bentuknya berbeda-beda atau mengumpulkan semua benda bulat walau warnanya berbeda-beda.
Menurut Piaget, tahapan pra-operasional mengikuti tahapan sensorimotor dan muncul antara usia dua sampai enam tahun. Dalam tahapan ini, anak mengembangkan keterampilan berbahasanya. Mereka mulai merepresentasikan benda-benda dengan kata-kata dan gambar. Bagaimanapun, mereka masih menggunakan penalaran intuitif bukan logis. Di permulaan tahapan ini, mereka cenderung egosentris, yaitu, mereka tidak dapat memahami tempatnya di dunia dan bagaimana hal tersebut berhubungan satu sama lain. Mereka kesulitan memahami bagaimana perasaan dari orang di sekitarnya. Tetapi seiring pendewasaan, kemampuan untuk memahami perspektif orang lain semakin baik. Anak memiliki pikiran yang sangat imajinatif di saat ini dan menganggap setiap benda yang tidak hidup pun memiliki perasaan.

3. Tahapan operasional konkrit
Tahapan ini adalah tahapan ketiga dari empat tahapan. Muncul antara usia enam sampai sebelas tahun dan mempunyai ciri berupa penggunaan logika yang memadai. Proses-proses penting selama tahapan ini adalah:
a)      Pengurutan—kemampuan untuk mengurutan objek menurut ukuran, bentuk, atau ciri lainnya. Contohnya, bila diberi benda berbeda ukuran, mereka dapat mengurutkannya dari benda yang paling besar ke yang paling kecil.
b)      Klasifikasi—kemampuan untuk memberi nama dan mengidentifikasi serangkaian benda menurut tampilannya, ukurannya, atau karakteristik lain, termasuk gagasan bahwa serangkaian benda-benda dapat menyertakan benda lainnya ke dalam rangkaian tersebut. Anak tidak lagi memiliki keterbatasan logika berupa animisme (anggapan bahwa semua benda hidup dan berperasaan)
c)      Decentering—anak mulai mempertimbangkan beberapa aspek dari suatu permasalahan untuk bisa memecahkannya. Sebagai contoh anak tidak akan lagi menganggap cangkir lebar tapi pendek lebih sedikit isinya dibanding cangkir kecil yang tinggi.
d)     Reversibility—anak mulai memahami bahwa jumlah atau benda-benda dapat diubah, kemudian kembali ke keadaan awal. Untuk itu, anak dapat dengan cepat menentukan bahwa 4+4 sama dengan 8, 8-4 akan sama dengan 4, jumlah sebelumnya.
e)      Konservasi—memahami bahwa kuantitas, panjang, atau jumlah benda-benda adalah tidak berhubungan dengan pengaturan atau tampilan dari objek atau benda-benda tersebut. Sebagai contoh, bila anak diberi cangkir yang seukuran dan isinya sama banyak, mereka akan tahu bila air dituangkan ke gelas lain yang ukurannya berbeda, air di gelas itu akan tetap sama banyak dengan isi cangkir lain.
f)       Penghilangan sifat Egosentrisme—kemampuan untuk melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain (bahkan saat orang tersebut berpikir dengan cara yang salah). Sebagai contoh, tunjukkan komik yang memperlihatkan Siti menyimpan boneka di dalam kotak, lalu meninggalkan ruangan, kemudian Ujang memindahkan boneka itu ke dalam laci, setelah itu baru Siti kembali ke ruangan. Anak dalam tahap operasi konkrit akan mengatakan bahwa Siti akan tetap menganggap boneka itu ada di dalam kotak walau anak itu tahu bahwa boneka itu sudah dipindahkan ke dalam laci oleh Ujang.

Ciri pokok perkembangan pada tahap ini adalah anak sudah mulai menggunakan aturan-aturan yang jelas dan logis, dan ditandai adanya reversible dan kekekalan. Anak telah memiliki kecakapan berpikir logis, akan tetatpi hanya dengan benda-benda yang bersifat konkret. Operation adalah suatu tipe tindakan untuk memanipulasi objek atau gambaran yang ada di dalam dirinya. Karenanya kegiatan ini memerlukan proses transformasi informasi ke dalam dirinya sehingga tindakannya lebih efektif. Anak sudah tidak perlu coba-coba dan membuat kesalahan, karena anak sudah dapat berpikir dengan menggunakan model “kemungkinan” dalam melakukan kegiatan tertentu. Ia dapat menggunakan hasil yang telah dicapai sebelumnya. Anak mampu menangani sistem klasifikasi.

4. Tahapan operasional formal
Tahap operasional formal adalah periode terakhir perkembangan kognitif dalam teori Piaget. Tahap ini mulai dialami anak dalam usia sebelas tahun (saat pubertas) dan terus berlanjut sampai dewasa. Karakteristik tahap ini adalah diperolehnya kemampuan untuk berpikir secara abstrak, menalar secara logis, dan menarik kesimpulan dari informasi yang tersedia. Dalam tahapan ini, seseorang dapat memahami hal-hal seperti cinta, bukti logis, dan nilai. Ia tidak melihat segala sesuatu hanya dalam bentuk hitam dan putih, namun ada "gradasi abu-abu" di antaranya. Dilihat dari faktor biologis, tahapan ini muncul saat pubertas (saat terjadi berbagai perubahan besar lainnya), menandai masuknya ke dunia dewasa secara fisiologis, kognitif, penalaran moral, perkembangan psikoseksual, dan perkembangan sosial. Beberapa orang tidak sepenuhnya mencapai perkembangan sampai tahap ini, sehingga ia tidak mempunyai keterampilan berpikir sebagai seorang dewasa dan tetap menggunakan penalaran dari tahap operasional konkrit.
Berdasarkan uraian di atas, siswa sekolah dasar berada pada tahap operasional kongkrit, pada tahap ini anak mengembangkan pemikiran logis, masih sangat terikat pada fakta-fakta perseptual, artinya anak mampu berfikir logis, tetapi masih terbatas pada objek-objek kongkrit, dan mampu melakukan konservasi.
Bertitik tolak pada perkembangan intelektual dan psikososial siswa sekolah dasar, hal ini menunjukkan bahwa mereka mempunyai karakteristik sendiri, di mana dalam proses berfikirnya, mereka belum dapat dipisahkan dari dunia kongkrit atau hal-hal yang faktual, sedangkan perkembangan psikososial anak usia sekolah dasar masih berpijak pada prinsip yang sama di mana mereka tidak dapat dipisahkan dari hal-hal yang dapat diamati, karena mereka sudah diharapkan pada dunia pengetahuan.
Pada usia ini mereka masuk sekolah umum, proses belajar mereka tidak hanya terjadi di lingkungan sekolah, karena mereka sudah diperkenalkan dalam kehidupan yang nyata di dalam lingkungan masyarakat. Nasution (1992) mengatakan bahwa masa kelas tinggi sekolah dasar mempunyai beberapa sifat khas sebagai berikut : (1) adanya minat terhadap kehidupan praktis sehari-hari yang kongkrit, (2) amat realistik, ingin tahu dan ingin belajar, (3) menjelang akhir masa ini telah ada minat terhadap hal-hal dan mata pelajaran khusus, oleh ahli yang mengikuti teori faktor ditaksirkan sebagai mulai menonjolnya faktor-faktor, (4) pada umumnya anak menghadap tugas-tugasnya dengan bebas dan berusaha menyelesaikan sendiri, (5) pada masa ini anak memandang nilai (angka rapor) sebagai ukuran yang tepat mengenai prestasi sekolah, (6) anak pada masa ini gemar membentuk kelompok sebaya, biasanya untuk bermain bersama-sama.
Seperti dikatakan Darmodjo (1992) anak usia sekolah dasar adalah anak yang sedang mengalami perrtumbuhan baik pertumbuhan intelektual, emosional maupun pertumbuhan badaniyah, di mana kecepatan pertumbuhan anak pada masing-masing aspek tersebut tidak sama, sehingga terjadi berbagai variasi tingkat pertumbuhan dari ketiga aspek tersebut. Ini suatu faktor yang menimbulkan adanya perbedaan individual pada anak-anak sekolah dasar walaupun mereka dalam usia yang sama.
Dengan karakteristik siswa yang telah diuraikan seperti di atas, guru dituntut untuk dapat mengemas perencanaan dan pengalaman belajar yang akan diberikan kepada siswa dengan baik, menyampaikan hal-hal yang ada di lingkungan sekitar kehidupan siswa sehari-hari, sehingga materi pelajaran yang dipelajari tidak abstrak dan lebih bermakna bagi anak. Selain itu, siswa hendaknya diberi kesempatan untuk pro aktif dan mendapatkan pengalaman langsung baik secara individual maupun dalam kelompok. Guru juga dituntut untuk harus menjadi model/teladan yang baik bagi siswa serta guru harus berhati – hati dalam bersikap, berbicara, dan berbuat karenaa akan sangat bepengaruh terhadap kepribadian peserta didik.

2.2.2 Teori Perkembangan Psikososial
Teori Erik Erikson tentang perkembangan manusia dikenal dengan teori perkembangan psiko-sosial. Teori perkembangan psikososial ini adalah salah satu teori kepribadian terbaik dalam psikologi. Seperti Sigmund Freud, Erikson percaya bahwa kepribadian berkembang dalam beberapa tingkatan. Salah satu elemen penting dari teori tingkatan psikososial Erikson adalah perkembangan persamaan ego. Persamaan ego adalah perasaan sadar yang kita kembangkan melalui interaksi sosial. Menurut Erikson, perkembangan ego selalu berubah berdasarkan pengalaman dan informasi baru yang kita dapatkan dalam berinteraksi dengan orang lain. Erikson juga percaya bahwa kemampuan memotivasi sikap dan perbuatan dapat membantu perkembangan menjadi positif, inilah alasan mengapa teori Erikson disebut sebagai teori perkembangan psikososial.
Ericson memaparkan teorinya melalui konsep polaritas yang bertingkat/bertahapan. Ada 8 (delapan) tingkatan perkembangan yang akan dilalui oleh manusia. Menariknya bahwa tingkatan ini bukanlah sebuah gradualitas. Manusia dapat naik ketingkat berikutnya walau ia tidak tuntas pada tingkat sebelumnya. Setiap tingkatan dalam teori Erikson berhubungan dengan kemampuan dalam bidang kehidupan. Jika tingkatannya tertangani dengan baik, orang itu akan merasa pandai. Jika tingkatan itu tidak tertangani dengan baik, orang itu akan tampil dengan perasaan tidak selaras.
Dalam setiap tingkat, Erikson percaya setiap orang akan mengalami konflik/krisis yang merupakan titik balik dalam perkembangan. Erikson berpendapat, konflik-konflik ini berpusat pada perkembangan kualitas psikologi atau kegagalan untuk mengembangkan kualitas itu. Selama masa ini, potensi pertumbuhan pribadi meningkat. Begitu juga dengan potensi kegagalan.
Tahap 1. Trust vs Mistrust (percaya vs tidak percaya)
§  Terjadi pada usia 0 s/d 18 bulan.
§  Tingkat pertama teori perkembangan psikososial Erikson terjadi antara kelahiran sampai usia satu tahun dan merupakan tingkatan paling dasar dalam hidup.
§  Oleh karena bayi sangat bergantung, perkembangan kepercayaan didasarkan pada ketergantungan dan kualitas dari pengasuh kepada anak.
§  Jika anak berhasil membangun kepercayaan, dia akan merasa selamat dan aman dalam dunia. Pengasuh yang tidak konsisten, tidak tersedia secara emosional, atau menolak, dapat mendorong perasaan tidak percaya diri pada anak yang di asuh. Kegagalan dalam mengembangkan kepercayaan akan menghasilkan ketakutan dan kepercayaan bahwa dunia tidak konsisten dan tidak dapat di tebak.
Tahap 2. Otonomi (Autonomy) VS malu dan ragu-ragu (shame and doubt)
§  Terjadi pada usia 18 bulan s/d 3 tahun.
§  Tingkat ke dua dari teori perkembangan psikososial Erikson ini terjadi selama masa awal kanak-kanak dan berfokus pada perkembangan besar dari pengendalian diri.
§  Seperti Freud, Erikson percaya bahwa latihan penggunaan toilet adalah bagian yang penting sekali dalam proses ini. Tetapi, alasan Erikson cukup berbeda dari Freud. Erikson percaya bahwa belajar untuk mengontrol fungsi tubuh seseorang akan membawa kepada perasaan mengendalikan dan kemandirian.
§  Kejadian-kejadian penting lain meliputi pemerolehan pengendalian lebih yakni atas pemilihan makanan, mainan yang disukai, dan juga pemilihan pakaian.
§  Anak yang berhasil melewati tingkat ini akan merasa aman dan percaya diri, sementara yang tidak berhasil akan merasa tidak cukup dan ragu-ragu terhadap diri sendiri.


Tahap 3. Inisiatif (Initiative) vs rasa bersalah (Guilt)
§  Terjadi pada usia 3 s/d 5 tahun.
§  Selama masa usia prasekolah mulai menunjukkan kekuatan dan kontrolnya akan dunia melalui permainan langsung dan interaksi sosial lainnya. Mereka lebih tertantang karena menghadapi dunia sosial yang lebih luas, maka dituntut perilaku aktif dan bertujuan.
§  Anak yang berhasil dalam tahap ini merasa mampu dan kompeten dalam memimpin orang lain. Adanya peningkatan rasa tanggung jawab dan prakarsa.
§  Mereka yang gagal mencapai tahap ini akan merasakan perasaan bersalah, perasaan ragu-ragu, dan kurang inisiatif. Perasaan bersalah yang tidak menyenangkan dapat muncul apabila anak tidak diberi kepercayaan dan dibuat merasa sangat cemas.
§  Erikson yakin bahwa kebanyakan rasa bersalah dapat digantikan dengan cepat oleh rasa berhasil.
Tahap 4. Industry vs inferiority (Percaya diri vs rasa rendah diri)
§  Terjadi pada usia 6 s/d 12 tahun
§  Melalui interaksi sosial, anak mulai mengembangkan perasaan bangga terhadap keberhasilan dan kemampuan mereka.
§  Anak yang didukung dan diarahkan oleh orang tua dan guru membangun perasaan kompeten dan percaya dengan ketrampilan yang dimilikinya.
§  Anak yang menerima sedikit atau tidak sama sekali dukungan dari orang tua, guru, atau teman sebaya akan merasa ragu akan kemampuannya untuk berhasil atau menimbulkan perasaan rendah diri.
§  Prakarsa yang dicapai sebelumnya memotivasi mereka untuk terlibat dengan pengalaman-pengalaman baru.
§  Ketika beralih ke masa pertengahan dan akhir kanak-kanak, mereka mengarahkan energi mereka menuju penguasaan pengetahuan dan keterampilan intelektual. Permasalahan yang dapat timbul pada tahun sekolah dasar adalah berkembangnya rasa rendah diri, perasaan tidak berkompeten dan tidak produktif.
§  Erikson yakin bahwa guru memiliki tanggung jawab khusus bagi perkembangan ketekunan anak-anak.
§  Penanaman nilai – nilai moral sperti kerjasama, kasih sayang, toleransi, tanggung jawaab, penghargaan, kedermawanan dan lain sebagainya dapat membantu siswa melewati fase kritis, sebab lingkungan sosial yang terbentuk dapat memberikan kesempatan yang luas bagi siswa untuk mengembangkan sikap positifnya.
Tahap 5. Identity vs identify confusion (identitas vs kebingungan identitas)
§  Terjadi pada masa remaja, yakni usia 12 s/d 20 tahun
§  Selama remaja ia mengekplorasi kemandirian dan membangun kepakaan dirinya.
§  Anak dihadapkan dengan penemuan siapa mereka, bagaimana mereka nantinya, dan kemana mereka menuju dalam kehidupannya (menuju tahap kedewasaan).
§  Anak dihadapkan memiliki banyak peran baru dan status sebagai orang dewasa –pekerjaan dan romantisme, misalnya, orangtua harus mengizinkan remaja menjelajahi banyak peran dan jalan yang berbeda dalam suatu peran khusus.
§  Jika remaja menjajaki peran-peran semacam itu dengan cara yang sehat dan positif untuk diikuti dalam kehidupan, identitas positif akan dicapai.
§  Jika suatu identitas remaja ditolak oleh orangtua, jika remaja tidak secara memadai menjajaki banyak peran, jika jalan masa depan positif tidak dijelaskan, maka kebingungan identitas merajalela.
§  Namun bagi mereka yang menerima dukungan memadai maka eksplorasi personal, kepekaan diri, perasaan mandiri dan control dirinya akan muncul dalam tahap ini.
§  Bagi mereka yang tidak yakin terhadap kepercayaan diri dan hasratnya, akan muncul rasa tidak aman dan bingung terhadap diri dan masa depannya.
Tahap 6. Intimacy vs isolation (keintiman vs keterkucilan)
§  Terjadi selama masa dewasa awal (20an s/d 30an tahun)
§  Erikson percaya tahap ini penting, yaitu tahap seseorang membangun hubungan yang dekat dan siap berkomitmen dengan orang lain.
§  Mereka yang berhasil di tahap ini, akan mengembangkan hubungan yang komit dan aman.
§  Erikson percaya bahwa identitas personal yang kuat penting untuk mengembangkan hubungan yang intim. Penelitian telah menunjukkan bahwa mereka yang memiliki sedikit kepakaan diri cenderung memiliki kekurangan komitemen dalam menjalin suatu hubungan dan lebih sering terisolasi secara emosional, kesendirian dan depresi.
§  Jika mengalami kegagalan, maka akan muncul rasa keterasingan dan jarak dalam interaksi dengan orang.
Tahap 7. Generativity vs Stagnation (Bangkit vs Stagnan)
§  Terjadi selama masa pertengahan dewasa (40an s/d 50an tahun).
§  Selama masa ini, mereka melanjutkan membangun hidupnya berfokus terhadap karir dan keluarga.
§  Mereka yang berhasil dalam tahap ini, maka akan merasa bahwa mereka berkontribusi terhadap dunia dengan partisipasinya di dalam rumah serta komunitas.
§  Mereka yang gagal melalui tahap ini, akan merasa tidak produktif dan tidak terlibat di dunia ini.
Tahap 8. Integrity vs depair (integritas vs putus asa)
§  Terjadi selama masa akhir dewasa (60an tahun)
§  Selama fase ini cenderung melakukan cerminan diri terhadap masa lalu.
§  Mereka yang tidak berhasil pada fase ini, akan merasa bahwa hidupnya percuma dan mengalami banyak penyesalan.
§  Individu akan merasa kepahitan hidup dan putus asa
§  Mereka yang berhasil melewati tahap ini, berarti ia dapat mencerminkan keberhasilan dan kegagalan yang pernah dialami.
§  Individu ini akan mencapai kebijaksaan, meskipun saat menghadapi kematian.

Hal tersebut berkaitan dengan perkembangan dan perubahan emosi individu. J.Havighurst mengemukakan bahwa setiap perkembangan individu harus sejalan dengan perkembangan aspek lain seperti di antaranya adalah aspek psikis, moral dan sosial.
Menjelang masuk SD, anak telah Mengembangkan keterampilan berpikir bertindak dan pengaruh sosial yang lebih kompleks. Sampai dengan masa ini, anak pada dasarnya egosentris (berpusat pada diri sendiri) dan dunia mereka adalah rumah keluarga, dan taman kanakkanaknya.
Selama duduk di kelas kecil SD, anak mulai percaya diri tetapi juga sering
rendah diri. Pada tahap ini mereka mulai mencoba membuktikan bahwa mereka "dewasa". Mereka merasa "saya dapat mengerjakan sendiri tugas itu, karenanya tahap ini disebut tahap "I can do it my self". Mereka sudah mampu untuk diberikan
suatu tugas.
Daya konsentrasi anak tumbuh pada kelas kelas besar SD. Mereka dapat meluangkan lebih banyak waktu untuk tugas tugas pilihan mereka, dan seringkali mereka dengan senang hati menyelesaikannya. Tahap ini juga termasuk tumbuhnya tindakan mandiri, kerjasama dengan kelompok dan bertindak menurut cara cara yang dapat diterima lingkungan mereka. Mereka juga mulai peduli pada permainan yang jujur.
Selama masa ini mereka juga mulai menilai diri mereka sendiri dengan membandingkannya dengan orang lain. Anak anak yang lebih mudah menggunakan perbandingan sosial (social comparison) terutama untuk normanorma sosial dan kesesuaian jenisjenis tingkah laku tertentu. Pada saat anakanak tumbuh semakin lanjut, mereka cenderung menggunakan perbandingan sosial untuk mengevaluasi dan menilai kemampuan kemampuan mereka sendiri.
Sebagai akibat dari perubahan struktur fisik dan kognitif mereka, anak pada kelas besar di SD berupaya untuk tampak lebih dewasa. Mereka ingin diperlakukan sebagai orang dewasa.Terjadi perubahan perubahan yang berarti dalam kehidupan sosial dan emosional mereka. Di kelas besar SD anak lakilaki dan perempuan menganggap keikutsertaan dalam kelompok menumbuhkan perasaan bahwa dirinya berharga. Tidak diterima dalam kelompok dapat membawa pada masalah emosional yang serius Temanteman mereka menjadi lebih penting daripada sebelumnya. Kebutuhan untuk diterima oleh teman sebaya sangat tinggi. Remaja sering berpakaian serupa. Mereka menyatakan kesetiakawanan mereka dengan anggota kelompok teman sebaya melalui pakaian atau perilaku.
Hubungan antara anak dan guru juga seringkali berubah. Pada saat di SD kelas rendah, anak dengan mudah menerima dan bergantung kepada guru. Di awal awal tahun kelas besar SD hubungan ini menjadi lebih kompleks. Ada siswa yang menceritakan informasi pribadi kepada guru, tetapi tidak mereka ceritakan kepada orang tua mereka. Beberapa anak pra remaja memilih guru mereka sebagai model.
Sementara itu, ada beberapa anak membantah guru dengan cara cara yang tidak mereka bayangkan beberapa tahun sebelumnya. Malahan, beberapa anak mungkin secara terbuka menentang gurunya.
Salah satu tanda mulai munculnya perkembangan identitas remaja adalah reflektivitas yaitu kecenderungan untuk berpikir tentang apa yang sedang berkecamuk dalam benak mereka sendiri dan mengkaji diri sendiri. Mereka juga mulai menyadari bahwa ada perbedaan antara apa yang mereka pikirkan dan mereka rasakan serta bagaimana mereka berperilaku.
Mereka mulai mempertimbangkan kemungkinankemungkinan. Remaja mudah dibuat tidak puas oleh diri mereka sendiri. Mereka mengkritik sifat pribadi mereka, membandingkan diri mereka dengan orang lain, dan mencoba untuk mengubah perilaku mereka. Pada remaja usia 18 tahun sampai 22 tahun, umumnya telah mengembangkan suatu status pencapaian identitas.
Adapun peranan guru dalam pembelajaraan psikososial di Sekolah Dasar, anatara lain:
ü  Guru/ pendidik hendaknya membekali peserta didik dengan nilai – nilai moral yang akan membentuk karakter siwa menuju sikap positif siswa.
ü  Nilai-nilai moral ini haarus ditanamkan agar siswa memiliki kepekaan sosial yang tinggi sehingga lingkungan sosial yang positif jugaa dapat terbentuk. Hal ini dapat membantu rasa percaya dirinya yang kuat dan karakter yang positif.

2.3.3 Teori Perkembangan Moral
Dewey pernah membagikan proses perkembangan moral atas 3 tahap yaitu: tahap pramoral, tahap konvensional dan tahap otonom. Selanjutnya Piaget berhasil melukiskan dan mengolongkan seluruh pemikiran moral anak seturut kerangka pemikiran Dewey: (1) tahap “pramoral”, anak belum menyadari ketertikatannya pada aturan; (2) tahap “konvensional”, dicirikan oleh ketaatan pada kekuasaan; (3) tahap “otonom”, bersifat keterikatan pada aturan yang didasarkan pada resiprositas. Berdasarkan pada penelitiannya, Lawrence Kohlberg berhasil memperlihatkan 6 tahap dalam seluruh proses berkembangnya pertimbangan moral anak dan orang muda. Keenam tipe ideal itu diperoleh dengan mengubah tiga tahap Piaget/Dewey dan menjadikannya tiga “tingkat” yang masing-masing dibagi lagi atas dua “tahap”. ketiga “tingkat” itu adalah tingkat prakonvensional, konvensional dan pasca-konvensional.
Meski anak prakonvensional sering kali berperilaku “baik” dan tanggap terhadap label-label budaya mengenai baik dan buruk, namun ia menafsirkan semua label ini dari segi fisiknya (hukuman, ganjaran kebaikan) atau dari segi kekuatan fisik mereka yang mengadakan peraturan dan menyebut label tentang yang baik dan yang buruk. Tingkat ini biasanya ada pada anak-anak yang berusia empat hingga sepuluh tahun.
Tingkat kedua atau tingkat konvensional juga dapat digambarkan sebagai tingkat konformis, meskipun istilah itu mungkin terlalu sempit. Pada tingkat ini, anak hanya menuruti harapan keluarga, kelompok atau bangsa, dan dipandangnya sebagai hal yang bernilai dalam dirinya, tanpa mengindahkan akibat yang segera dan nyata. Individu tidak hanya berupaya menyesuaikan diri dengan tatanan sosialnya, tetapi juga untuk mempertahankan, mendukung dan membenarkan tatanan sosial itu.
Tingkat pasca-konvensional dicirikan oleh dorongan utama menuju ke prinsip-prinsip moral otonom, mandiri, yang memiliki validitas dan penerapan, terlepas dari otoritas kelompok-kelompok atau pribadi-pribadi yang memegangnya dan terlepas pula dari identifikasi si individu dengan pribadi-pribadi atau kelompok-kelompok tersebut. Pada tingkat ini terdapat usaha yang jelas untuk merumuskan nilai-nilai dan prinsip moral yang memiliki keabsahan dan dapat diterapkan terlepas dari otoritas kelompok atau orang yang berpegang pada prinsip-prinsip itu.
Tahap - Tahap Moral :
Pada tingkat Prakonvensional kita menemukan:
Tahap I – Orientasi hukuman dan kepatuhan: Orientasi pada hukuman dan rasa hormat yang tak dipersoalkan terhadap kekuasan yang lebih tinggi. Akibat fisik tindakan, terlepas arti atau nilai manusiawinya, menentukan sifat baik dan sifat buruk dari tindakan ini.
Tahap 2 – Orientasi relativis-intrumental: Perbuatan yang benar adalah perbuatan yang secara instrumental memuaskan kebutuhan individu sendiri dan kadang-kadang kebutuhan orang lain. Hubungan antarmanusia dipandang seperti hubungan di tempat umum. Terdapat unsur-unsur kewajaran, timbal-balik, dan persamaan pembagian, akan tetapi semuanya itu selalu ditafsirkan secara fisis pragmatis, timbal-balik adalah soal ”Jika anda menggaruk punggungku, nanti aku akan menggaruk punggungmu”, dan ini bukan soal kesetiaan, rasa terima kasih atau keadilan.
Pada tingkat Konvensional kita menemukan:
Tahap 3 – Orientasi kesepakatan antara pribadi atau Orientasi ”Anak manis”: Orientasi ”anak manis”. Perilaku yang baik adalah perilaku yang menyenangkan atau membantu orang lain, dan yang disetujui oleh mereka. Terdapat banyak konformitas dengan gambaran-gambaran stereotip mengenai apa yang diangap tingkah laku mayoritas atau tingkah laku yang ’wajar’. Perilaku kerap kali dinilai menurut niat, ungkapan ”ia bermaksud baik” untuk pertama kalinya menjadi penting dan digunakan secara berlebih-lebihan. Orang mencari persetujuan dengan berperilaku ”baik”.
Adapun ciri – ciri Tahap Orientasi Anak Manis :
·         Anak SD/MI sudah mampu melakukan penalaran moral melalui struktur kognitifnya, yakni dengan melakukan penalaran moral.
·         Penalaran moral anak usia SD/MI dapat dilakukan melalui contoh kisah teladan.
·         Dengan kemampuan penalaran moral inilah maka nilai, moral, dan norma akan mempribadi dalam diri peserta didik.
·         Penanaman nilai dan moral dapat dilakukan melalui “ Pendekatan dilema moral ” dalam pembelajaraan.
·         Menurut Kohlberg, dilema moral dapat digunakan untuk menunjukkan tingkat penalaran moral anak, tetapi hanya setahap demi setahap.
Tahap 4 – Orientasi hukum dan ketertiban: Orientasi kepada otoritas, peraturan yang pasti dan pemeliharaan tata aturan sosial. Perbuatan yang benar adalah menjalankan tugas, memperlihatkan rasa hormat terhadap otoritas, dan pemeliharaan tata aturan sosial tertentu demi tata aturan itu sendiri. Orang mendapatan rasa hormat dengan berperilaku menurut kewajibannya.
Pada tingkat Pasca-Konvensional kita melihat:
Tahap 5 – Orientasi kontrak sosial legalistis: Suatu orientasi kontrak sosial, umumnya bernada dasar legalistis dan utilitarian. Perbuatan yang benar cenderung didefinisikan dari segi hak-hak bersama dan ukuran-ukuran yang telah diuji secara kritis dan disepakati oleh seluruh masyarakat. Terdapat suatu kesedaran yang jelas mengenai relativisme nilai-nilai dan pendapat-pedapat pribadi serta suatu tekanan pada prosedur yang sesuai untuk mencapai kesepakatan. terlepas dari apa yang disepakati secara konstitusional dan demokratis, yang benar dan yang salah merupakan soal ”nilai” dan ”pendapat” pribadi. hasilnya adalah suatu tekanan atas ”sudut pandangan legal”, tetapi dengan menggarisbawahi kemungkinan perubahan hukum berdasarkan pertimbangan rasional mengenai kegunaan sodial dan bukan membuatnya beku dalam kerangka ”hukum dan ketertiban” seperti pada gaya tahap 4. Di luar bidang legal, persetujuan dan kontrak bebas merupakan unsur-unsur pengikat unsur-unsur kewajiban. Inilah moralitas ”resmi” pemerintahan Amerika Serikat dan mendapatkan dasar alasannya dalam pemikiran para penyusun Undang-Undang.
Tahap 6 – Orientasi Prinsip Etika Universal: Orientasi pada keputusan suara hati dan pada prinsip-prinsip etis yang dipilih sendiri, yang mengacu pada pemaham logis, menyeluruh, universalitas dan konsistensi. Prinsip-prinsip ini bersifat abstrak dan etis (kaidah emas, kategoris imperatif). Prinsip-prinsip itu adalah prinsip-prinsip universal mengenai keadilan, timbal-balik, dan persamaan hak asasi manusia, serta rasa hormat terhadap martabat manusia sebai person individual.


Adapun peranan guru dalam pembelajaran moral, antara lain :
·         Guru hendaknya mengajarkan nila dan moral setahap demi setahap melalui pendekatan Kisah Teladan, Dilema Moral, dan Keteladanan.
·         Guru harus memberikan stimulus agar peserta didiknya terdorong untuk bersikap dan berperilaku sesuai dengan nilai, moral dan norma yang ada.
·          Pemberian pjian atau hukuman secara spontan pada setiap perilaku siswaa yang kurang baik atau yang baik sangat diperlukan untuk merangsang perkembangan moral siswa.

2.4  Pembelajaran Anak di Sekolah Dasar
   Pada penerapan pembelajaran siswa di SD hendaknya dilakukan sebuah pembelajaran yang  sesuai dengan  karakteristik yang dimiliki dan kebutuhan yang diperlukan oleh anak usia SD karena hal ini dapat menumbuhkan kembangkan potensi peserta didik dan menumbuhkan semangat belajar anak SD, seperti contoh :
1.      Anak usia SD Senang bermain
Maksudnya dalam usia yang masih dini anak cenderung untuk ingin bermain dan menghabiskan waktunya hanya untuk bermain karena anak masih polos yang dia tahu hanya bermain maka dari itu agar tidak megalami masa kecil kurang bahagia anak tidak boleh dibatasi dalam bermain. Peranan  guru SD yaitu harus mengetahui karakter anak sehingga dalam penerapan metode atau model pembelajaran bisa sesuai dan mencapai sasaran, misalnya model pembelajaran yang santai namun serius, bermain sambil belajar, serta dalam menyusun jadwal pelajaran yang berat(IPA, matematika dll.) dengan diselingi pelajaran yang ringan(keterampilan, olahraga dll.)
2.      Anak usia SD Senang bergerak
Anak senang bergerak maksudnya dalam masa pertumbuhan fisik dan mentalnya anak menjadi hiperaktif lonjak kesana kesini bahkan seperti merasa tidak capek mereka tidak mau diam dan duduk saja menurut pengamatan para ahli anak duduk tenang paling lama sekitar 30 menit. Peranan guru SD hendaknya merancang model pembelajaran yang memungkinkan anak berpindah atau bergerak. Mungkin dengan permaianan, olahraga dan lain sebagainya.
3.       Anak usia SD Senang bekerja dalam kelompok
Anak senang bekerja dalam kelompok maksudnya sebagai seorang manusia,
anak-anak juga mempunyai insting sebagai makhluk social yang bersosialisasi dengan
orang lain terutama teman sebayanya, terkadang mereka membentuk suatu kelomppok tertentu untuk bermain. Dalam kelompok tersebut anak dapat belajar memenuhi aturan aturan kelompok, belajar setia kawan, belajar tidak tergantung pada diterimanya dilingkungan, belajar menerimanya tanggung jawab, belajar bersaing dengan orang lain secara sehat (sportif), mempelajarai olah raga, belajar keadilan dan demokrasi. Peranan guru SD yaitu dapat membuat suatu kelompok kecil misalnya 3-4 anak agar lebih mudah mengkoordinir karena terdapat banyak perbedaan pendapat dan sifat dari anak - anak tersebut dan mengurangi pertengkaran antar anak dalam satu kelompok. Kemudian anak tersebut diberikan tugas untuk mengerjakannya bersama, disini anak harus bertukar pendapat anak menjadi lebih menghargai pendapat orang lain juga.
4.        Anak usia SD Senang merasakan/ melakukan sesuatu secara langsung
Ditinjau dari teori perkembangan kognitif, anak SD memasuki tahap operasional
konkret. Dari apa yang dipelajari di sekolah, ia belajar menghubungkan konsep
konsep baru dengan konsep-konsep lama. Jadi dalam pemahaman anak SD semua materi
atau pengetahuan yang diperoleh harus dibuktikan dan dilaksanakan sendiri agar mereka bisa paham dengan konsep awal yang diberikan. Berdasarkan pengalaman ini, siswa membentuk konsep-konsep tentang angka, ruang, waktu, fungsi-fungsi badan, pera jenis kelamin, moral, dan sebagainya. Peranan guru SD hendaknya merancang model pembelajaran yang memungkinkan anak terlibat langsung dalam proses pembelajaran. Sebagai contoh anak akan lebih memahami tentang arah mata angin, dengan cara membawa anak langsung keluar kelas, kemudian menunjuk langsung setiap arah angin, bahkan dengan sedikit menjulurkan lidah akan diketahui secara persis dari arah mana angin saat itu bertiup.
5.       Anak usia SD Anak cengeng
Pada umur anak SD, anak masih cengeng dan manja. Mereka selalu ingin
diperhatikan dan dituruti semua keinginannya mereka masih belum mandiri dan harus
selalu dibimbing. Peranan guru SD yaitu membuat metode pembelajaran tutorial atau metode bimbingan agar kita dapat selalu membimbing dan mengarahkan anak, membentuk mental anak agar tidak cengeng.
6.       Anak usia SD Anak sulit memahami isi pembicaraan orang lain
Pada pendidikan dasar yaitu SD, anak susah dalam memahami apa yang diberikan guru. Peranan guru SD harus dapat membuat atau menggunakan metode yang tepat misalnya dengan cara metode ekperimen agar anak dapat memahami pelajaran yang diberikan dengan menemukan sendiri inti dari pelajaran yang diberikan sedangkan dengan ceramah yang dimana guru Cuma berbicara didepan membuat anak malah tidak memahami isi dari apa yang dibicarakan oleh gurunya.
7.      Anak usia SD Senang diperhatikan
Di dalam suatu interaksi social anak biasanya mencari perhatian teman atau
gurunya mereka senang apabila orang lain memperhatikannya, dengan berbagai cara
dilakukan agar orang memperhatikannya
. Peran guru SD untuk mengarahkan perasaan anak tersebut dengan menggunakan metode  tanya jawab misalnya, anak yang ingin diperhikan akan berusaha menjawab atau bertanya dengan guru agar anak lain beserta guru memperhatikannya.
8.       Anak usia SD Senang meniru
Dalam kehidupan sehari hari anak mencari suatu figur yang sering dia lihat
dan dia temui. Mereka kemudian menirukan apa yang dilakukan dan dikenakan orang
yang ingin dia tiru tersebut. Dalam kehidupan nyata banyak anak yang terpengaruh acara televisi dan menirukan adegan yang dilakukan disitu, misalkan acara smack down yang dulu ditayangkan sekarang sudah ditiadakan karena ada berita anak yang melakukan gerakan dalam smack down pada temannya, yang akhirnya membuat temannya terluka. Namun sekarang acara televisi sudah dipilah-pilah utuk siapa acara itu ditonton sebagai calon guru kita hanya dapat mengarahkan orang tua agar selalu mengawasi anaknya saat dirumah. Contoh lain yang biasanya ditiru adalah seorang guru yang menjadi pusat perhatian dari anak didiknya. Peranan guru SD harus menjaga tindakan, sikap, perkataan, penampilan yang bagus dan rapi agar dapat memberikan contoh yang baik untuk anak didik kita.
Dilihat dari karakeristik Perkembangan Kognitif, pembelajaran untuk siswa di SD harus diarahkan pada konsep – konsep yang bersifat konkret dan menyangkut dunia keseharian siswa dan jangan mengajarkan siswa dengan contoh – contoh yang abstrak. Pembelajaran untuk siswa di SD harus ditekankan pada penanaman nilai – nilai oleh guru kepada siswa dilakukan melalui keteladanan. Siswa membutuhkan contoh keteladanan melalui sikap yang ditunjukkan oleh guru/pendidik dan bukan contoh yang berupa kata – kata maupun konsep yang abstrak. Adapun peranan guru dalam Pembelajaran anak di SD yaitu dalam pembelajaran hendaknya sekonkret mungkin baik dalam menjelaskan maupun memberikan contoh dan sebanyak mungkin melibatkan pengalaman – pengalaman fisik siswa.
Dilihat dari karakteristik Perkembangan Psikososial, pembelajaran seharusnya membentuk rasa kepercayaan diri peserta didik pada usia SD/MI karena mulai mengembangkan kemampuan berfikir dan konsep dirinya. Apabila pada tahap ini anak gagal membentuk kepercayaan dirinya maka anak tersebut akan memiliki konsep diri negative atau rendah diri. Dalam pembelajaran interaksi siswa dengan teman sebaya menjadi sangat penting, sebab jika anak mampu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan, dapat membawa siswa kearah pengembangan rasa mampu ( percaya diri ). Penanaman nilai – nilai moral seperti kerjasama, kasih sayang, toleransi, tanggung jawab, penghargaan, kedermawanan dan lain sebagainya dapat membantu siswa melewati fase kritis, sebab lingkungan sosial yang terbentuk dapat memberikan kesempatan yang luas bagi siswa untuk mengembangkan sikap positifnya. Guru/pendidik hendaknya membekali peserta didik dengan nilai – nilai moral yang akan membentuk karakter siwa menuju sikap positif siswa. Nilai-nilai moral ini haarus ditanamkan agar siswa memiliki kepekaan sosial yang tinggi sehingga lingkungan sosial yang positif jugaa dapat terbentuk. Hal ini dapat membantu rasa percaya dirinya yang kuat dan karakter yang positif.
Dilihat dari karakteristik Perkembangan Moral, pembelajaran dengan menumbuhkan penalaran moral pada siswa SD dengan mengaitkan kisah- kisah tauladan seorang tokoh dalam suatu materi pelajaran. Guru hendaknya mengajarkan nilai dasar setahap demi setahap melalui pendekatan kisah teladan, dilema moral, dan keteladanan. Guru harus memberikan stimulasi agar peserta didiknya terdorong untuk bersikap dan berprilaku sesuai dengan nilai, moral dan norma yang ada. Pemberian pujian atau hukuman secara spontan pada setiap perilaku siswa yang kurang baik atau yang baik sangat diperlukan untuk merangsang perkembangan moral siswa.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pembelajaran di SD hendaknya:
1.      Menyesuaikan karakteristik yang dimiliki oleh anak usia SD
2.      Mengaitkan hal-hal yang bersifat konkret pada setiap pembelajaran dengan tidak melibatkan hal-hal yang abstrak yang dapat membingungkan anak SD
3.      Menumbuhkan rasa percaya diri sedini mungkin sehingga meminimalisir timbulnya rasa rendah diri pada siswa SD
4.      Memberikan contoh kisah keteladanan para tokoh yang diterapkan langsung oleh guru SD dalam setiap pembelajaran
3.2 Saran
Diharapkan mahasiswa dapat menerapkan pembelajaran anak di Sekolah Dasar dengan menyesuaikan krakteristik yang dimiliki oleh siswa SD.
DAFTAR PUSTAKA
Mujtahidin,S.Pd., M.Pd. 2012. Teori Belajar dan Pembelajaran. Bangkalan: Universiitas Trunojoyo Madura.
Sri Anitah, dkk.  2008. Strategi Pembelajaran di SD. Jakarta: Universitas Terbuka
Udin S. Winataputra, dkk. 2007. Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Universitas Terbuka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar