Bismillah, kuceritakan padamu kawan, tentang perjalanan seorang gadis yang
ingin sekali bertemu dan bisa mendengarkan suara sang idola, Muzammil
Hasballah. Sebut saja dia Aisyah. Aisyah sangat mengidolakan Muzammil, pemuda berdarah Aceh tersebut. Bagaimana ia
tak mengagumi Muzammil? Lantunan suara tilawahnya yang sungguh menentramkan hati,
membuat ia mengidolakan pemuda yang hafal 30 juz tersebut. Bermula dari via instagram, ia tahu tentang
sosok Muzammil beberapa bulan yang lalu. Di setiap postingan instagramnya,
pemuda aumni teknik arsitektur ITB itu selalu mengupload tilawah dan ngajinya. Seketika Aisyah terkesan
dengan Muzammil. Ia pun follow akun instagramnya.
Kemarin, Aisyah sibuk sekali di sekolah karena hari ini ada agenda
penerimaan raport. Sebagai guru, ia sibuk mengurus raport anak didiknya. Hingga
ashar baru rampung segala tugasnya di sekolah, ia pun pulang. Kebetulan ketika
ia membuka akun instagram, Muzammil membuat history bahwa ia akan menjadi imam
tarawih di Masjid Al-Azhar, Kampus II ITS. Tanpa rencana dan persiapan, ia
segera pergi meminjam sepeda temannya untuk pergi ke ITS. Karena sang teman
sedang sibuk, maka ia pun berangkat sendiri. Berbekal tekad, bismillah dan
sholawat. Setelah berbuka dengan air putih dan sholat maghrib, ia segera
berangkat. Tanpa tahu ITS dimana, tanpa pernah ke ITS, tanpa pernah keluar
malam sendiri di kota terbesar kedua setelah Jakarta. Bismillah, ia berangkat. Aisyah
hanya tahu bahwa ITS ada di daerah Mulyosari. Ia tahu tentang pepatah “malu
bertanya sesat di jalan” dan ia pun mengaplikasikannya.
“ITS sudah dekat Mbak, tinggal lurus saja. Nanti ada bundaran,
belok kanan.”
“Oh, itu sudah masuk ITS Kampus II, ya, Mas” Lanjutnya pada Mas-Mas
penjual Mie ayam.
“Wah, kalau kampus II atau I, saya kurang tahu. Nanti tanya saja
sama satpamnya Mbak”
Setelah ia merasa sudah memasuki
kampus, ia pun bertanya pada salah satu mahasiswa.
“
Wah Mbak, ini bukan ITS. Tapi PENS” --Krik krik— (Ia tertawa geli dalam hati
karena yang ia singgahi bukan ITS,
tapi Politeknik Negeri Surabaya)
Ia pun
melanjutkan perjalanan, hingga akhirnya sampai di ITS. Tapi yang membuatnya
heran, mengapa kampus begitu sepi, padahal ada acara besar. Ia pun membuka akun
instagram, memastikan tentang informasi dari history Muzammil. Memang benar
Muzammil akan ke ITS, Tapi kok kampus II, tapi kok masjid Al-Azhar, kok bukan
masjid Manarul Ilmi. Setahunya di ITS nama masjidnya masjid Manarul Ilmi. Ia
teringat kalau ia punya teman anak ITS maka ia pun menghubungi sang teman. Sayang
sekali, pesannya belum terbaca.
Ia melirik
jamnya, ternyata sudah mau isya’. Segera ia melanjutkan perjalanan yang tak tahu
arahnya kemana. Setelah tiga kali bertanya (pada petugas pom, pada satpam
hotel, pada Bapak-Bapak penjual mie ayam) akhirnya sampailah ia di daerah
Manyar, masjid Al-Azhar. Jama’ah sholat tarawih membludak dan sudah bersiap
untuk sholat. Setelah ia mendapat tempat, ia pun berkenalan dengan dua gadis di
sampingnya.
“Mbaknya
mahasiswa sini?”
“Bukan Mbak,
saya sudah lulus” (Mungkin wajah Aisyah masih imut kali ya, hingga
dikira masih mahasiswa. haha)
“Oh, berangkat
darimana tadi?”
“Kenjeran Mbak,
Kedinding”
“Oh, pondok
Al-Fithrah ta”
“Enggeh, kok
sampeyan tahu?”
“Nebak saja Mbak.
Saya ikut jama’ah Al Khidmah. Lha sampeyan sama siapa kesininya?”
“Sendiri Mbak”
jawab Aisyah pada mahasiswa yang masih semester dua itu.
“Wah, kok
berani Mbak, jauh Lho dari Kedinding kesini itu, ini pojok selatan, Kedinding
pojok utara. Pakai googlemap ta Mbak ?”
“Ndak Mbak,
HP saya ngedrop soalnya” jawab Aisyah dengan tawa khasnya.“Cek nekadnya
sampeyan. Keren Mbak. Keren.” (sambil mengangkat jempolnya)
Memang bukan Aisyah
namanya kalau tidak punya mental baja dan jiwa pejuang. Adzan pun sudah
berkumandang. Sholat akan segera dimulai. Sebelum sholat dimulai, Muzammil
mengarahkan para jama’ah: “Rapatkan Shaf, karena itu bagian dari keutamaan
sholat berjama’ah. Marilah kita berusaha khusyu’, seakan ini sholat
kita yang terakhir.” Aisyah terenyuh dengan kalimat terakhir Muzammil yang
menyayat. Dan lagi, Aisyah takjub dengan skenario Allah, karena siapa sangka,
Muzammil membaca salah satu ayat favorit Aisyah di roka’at pertama sholat Isya’(Al
An’am:160). "Barangsiapa membawa amal yang baik, maka
baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa
perbuatan jahat maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan
kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).”
Setelah sholat tarawih selesai dengan diimami Muzammil, kemudian Muzammil memberikan sharing tentang maqamat dan cara membaca al Qur’an dengan baik. Kami diajari tentang delapan maqamat membaca Al-Qur’an lengkap dengan riwayatnya. Aisyah membatin dalam hati. Bahwa sungguh hidup adalah potongan mozaik. Tercecer, terserak tak beraturan di berbagai tempat yang berbeda, di waktu yang berbeda. Ia tersenyum sendiri, karena beberapa hari yang lalu, ia sempat mempost video di instagram tentang maqamat membaca Al-Qur’an versi Muzammil. Dan lagi, Allah meemberikan ia lebih, Aisyah bisa belajar langsung dengan Muzammil tentang maqamat membaca Al-Qur’an. Sungguh, Allah perancang skenario terbaik. Sungguh.
Muzammil menjelaskan bahwa ada 8 maqamat yang lazim dipakai, yakni : maqam Qurd, maqam Nahawand, maqam ‘Ajam, maqam Hijaz, Shoba, Sika, Bayati, dan yang terakhir, maqam Rast. Maqam Qurd adalah Maqam favorit Muzammil. Ia mengaku bahwa Maqam Qurd iramanya sangat sedih dan menyayat. Sedangkan Maqam yang iramanya gembira adalah maqam Rast.
Aisyah merasa bersyukur mendapatkan ilmu tersebut dari Muzammil. Namun sayang, ia tidak bisa merekam via video karena memang baterai HP yang sedari tadi pagi belum di charge. Tak apalah, ia sudah bersyukur sekali mendapat ilmu malam itu. Tak mendapat foto bersama Muzammil, bahkan tak bisa melihat sosok Muzammil yang sesungguhnya karena hanya bisa melihat dari layar LCD, tak menjadi masalah baginya. Ia bersyukur mendapat banyak pelajaran. Ia bergegas pulang, karena jam telah menunjukkan pukul 21:15. Ia was was, karena hari sudah malam dan ia perempuan, sendiri, perjalanan kembali pulang pun ia tak tahu harus lewat mana. Mungkin kalau hari masih siang, ia tak begitu khawatir. Namun kali ini? Ah, sudahlah. Ia perbanyak sholawat. Ia pun teringat pesan sang ayah, bahwa di pundak kanan dan kirinya, ia punya dua malaikat yang mengawasi dan ia tak lupa ada Allah yang selalu menjaganya. Maka apa yang perlu ditakutkan ?
Setelah sholat tarawih selesai dengan diimami Muzammil, kemudian Muzammil memberikan sharing tentang maqamat dan cara membaca al Qur’an dengan baik. Kami diajari tentang delapan maqamat membaca Al-Qur’an lengkap dengan riwayatnya. Aisyah membatin dalam hati. Bahwa sungguh hidup adalah potongan mozaik. Tercecer, terserak tak beraturan di berbagai tempat yang berbeda, di waktu yang berbeda. Ia tersenyum sendiri, karena beberapa hari yang lalu, ia sempat mempost video di instagram tentang maqamat membaca Al-Qur’an versi Muzammil. Dan lagi, Allah meemberikan ia lebih, Aisyah bisa belajar langsung dengan Muzammil tentang maqamat membaca Al-Qur’an. Sungguh, Allah perancang skenario terbaik. Sungguh.
Muzammil menjelaskan bahwa ada 8 maqamat yang lazim dipakai, yakni : maqam Qurd, maqam Nahawand, maqam ‘Ajam, maqam Hijaz, Shoba, Sika, Bayati, dan yang terakhir, maqam Rast. Maqam Qurd adalah Maqam favorit Muzammil. Ia mengaku bahwa Maqam Qurd iramanya sangat sedih dan menyayat. Sedangkan Maqam yang iramanya gembira adalah maqam Rast.
Aisyah merasa bersyukur mendapatkan ilmu tersebut dari Muzammil. Namun sayang, ia tidak bisa merekam via video karena memang baterai HP yang sedari tadi pagi belum di charge. Tak apalah, ia sudah bersyukur sekali mendapat ilmu malam itu. Tak mendapat foto bersama Muzammil, bahkan tak bisa melihat sosok Muzammil yang sesungguhnya karena hanya bisa melihat dari layar LCD, tak menjadi masalah baginya. Ia bersyukur mendapat banyak pelajaran. Ia bergegas pulang, karena jam telah menunjukkan pukul 21:15. Ia was was, karena hari sudah malam dan ia perempuan, sendiri, perjalanan kembali pulang pun ia tak tahu harus lewat mana. Mungkin kalau hari masih siang, ia tak begitu khawatir. Namun kali ini? Ah, sudahlah. Ia perbanyak sholawat. Ia pun teringat pesan sang ayah, bahwa di pundak kanan dan kirinya, ia punya dua malaikat yang mengawasi dan ia tak lupa ada Allah yang selalu menjaganya. Maka apa yang perlu ditakutkan ?
Aisyah
melanjutkan perjalanan lagi, ia melewati daerah Sukolilo, Keputih, melewati
Universitas Narotama, Universitas HangTuah, Sungguh. Itu untuk pertama kalinya
ia melewati jalanan itu. Jalanan begitu sepi. Bibirnya tak henti membaca sholawat.
Berharap Allah memberi keselamatan. Ia ingin sekali bertanya, namun tak ada
orang. Dan alhamdulillah, di kejauhan ia melihat ada alf*ma**. Ia membeli mie
instan yang sebetulnya ia tak begitu membutuhkannya ketika itu. Hanya ingin
bertanya saja pada karyawannya. Setelah mendapat arahan, akhirnya sampailah
ia di kampus ITS Mulyosari. Ia lega karena ia sudah tahu arah jika sudah
melewati ITS. Dan akhirnya, ia sampai pada pukul 22:15. Alhamdulillah……
Banyak
pelajaran dan hikmah dari perjalanan Aisyah, bahwa harapan harus diperjuangkan,
bahwa harus melewati proses terlebih dahulu untuk sampai pada apa yang kita
inginkan. Perjuangkanlah mimpi dan harapan sekuat mungkin, sebisa mungkin.
Jangan putus asa akan rahmat Allah, jangan takut apapun karena kita punya
Allah. Selagi harapan itu baik, perjuangkan. Selagi itu mampu bermanfaat,
kejarlah. Aisyah ingin sekali bertemu dengan sang idola, namun ia tahu bahwa
motivasi ke ITS untuk bertemu sang idola merupakan motivasi yang melenceng, ia
ubah niatnya, ingin mencari ilmu dan ingin menambah pelajaran dari sang idola.
Ia ingin ketika Muzammil sharing apapun itu, ia berharap bisa menambah
semangatnya lagi dalam menghatamkan l-Qur'an. Ia belajar banyak
dari Muzammil, tentang kegigihan, dan kelemahlembutan Muzammil, baik dalam
melantunkan Al-Qur’an maupun dalam bertutur kata. Tentang kecintaan pada Al-Qur’an,
tentang bagaimana seharusnya seseorang senang berinteraksi dengan Al-Qur’an.
“Bagaimana
seseorang bisa puas membaca Al-Qur’an, jika Al-Qur’an sudah melekat di hati dan
menjadi kecintaan. Alangkah baiknya kita membaca Al-Qur’an dengan tartil,
dengan mentadabburi artinya.” Terang Muzammil malam itu.
Hati Aisyah
terenyuh. Ingin sekali bisa menggapai cita-cita terbesarnya. Ia ingin sekali memakaikan jubah kemuliaan pada orangtuanya kelak,
ketika di akhirat. Baginya, itulah salah satu cara Aisyah untuk berbakti
pada orangtuanya. Semoga Allah mengabulkan cita-citanya, Aamiin
Surabaya, 10
Juni 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar