Tulisan ini, aku dedikasikan untuk guru ku yang paling hebat, guru yang darinya aku bisa sampai seperti sekarang ini, Almh Ibu Musyawaroh.
~
Ibu, aku selalu merindukanmu, tapi entah kenapa akhir-akhir ini rinduku membuncah sekali. Aku begitu merindukanmu, Bu.
~
Waktu itu, aku di Surabaya. Dan mendapat kabar dari rumah, bahwa engkau telah pergi menghadapNya. Aku shock sekali ketika itu. Aku tak menyangka dan seakan tak percaya. Begitu cepat engkau meninggalkan kami, Bu. Aku tak percaya bahwa saat hari raya idul fithri sebelum kepergianmu, itulah terakhir kali aku mencium tanganmu. Saat itu, engkau sudah berbeda dengan idul fithri tahun-tahun lalu. Idul fithri yang selalu penuh dengan senyummu dan belaian lembut tanganmu. Saat itu, engkau tak kudapati lagi di ruang tamu. “Ibuk di kamar, Mbak Rosi, masuk saja.” Begitu kata Pak Yahya. Aku berjalan ke kamar, dan engkau sudah terbaring di ranjang, terbaring lemah. Engkau tak seperti hari raya tahun-tahun yang lalu. Aku mencium kedua tanganmu, aku tatap lekat-lekat wajahmu. Aku tahan air mataku. Aku tak menyangka bahwa sakitmu bisa membuatmu seperti itu, lemah tak berdaya. Namun engkau masih mengenaliku di tengah sakitmu. “Semoga lekas sembuh, Bu” Doaku waktu itu. Namun Allah lebih menyayangimu, agar Engkau tak merasakan sakit lagi. Yaa Allah
~
Ketika kecil, yang mengajariku pertama kali tentang huruf “alif ba’ ta’” adalah ibuku sendiri. Aku belajar iqro’ di rumah, belum ke langgar (red.mushola). Dan setelah aku lancar membaca beberapa halaman, aku baru ngaji ke langgar. Di langgar, hari pertama aku ngaji, aku langsung disuruh membaca beberapa halaman dan sampai bisa menyamai halaman teman-temanku yang lain. Karena memang aku sudah belajar di rumah. Setiap hari, aku bertemu dan diajari oleh jenengan. Selama ngaji, sekalipun aku tidak pernah bolos. Meskipun aku sakit, tapi jika aku masih sanggup berdiri dan berjalan, meskipun suhu badan panasnya MasyaAllah, aku tetap ngotot berangkat ngaji.
~
Engkau selalu mengajari kami dengan sabar, dengan penuh kasih sayang. Dengan tulus ikhlas. Terkenang, setiap bulan ramadhan tiba, aku selalu menghabiskan ba’da shubuhku untuk ngaji di langgar beliau. Aku dan teman-teman sedesaku beramai-ramai bersepeda ke langgar beliau. Ketika kami sampai di langgar, beberapa kali kami mendapati beliau masih tertidur setelah jama’ah sholat shubuh. Kami tak tega membangunkan. Kami biarkan saja. Akhirnya setelah agak lama, kami pun mengucap salam. Dan engkau terbangun. Kemudian engkau menyiapkan microphone untuk kami.
~
Kami tadarrus, dan engkau biasanya menyimak sambil melakukan aktifitas rumah. Seperti menyapu, atau mencuci baju di belakang langgar. Kadang ketika salah satu di antara kami salah dalam melafalkan makhroj atau kurang benar bacaannya, engkau langsung menyahuti dan membenarkan sambil mencuci baju. “Ayo iku kancane disimak, dibenerno nek salah. Kok salah kabeh ngunu ngajine” kata beliau. Beliau memang paling tidak suka jika ada orang yang membaca qur’an tapi tidak disimak. Dhawuh beliau, kalau ada orang yang sedang mengaji itu disimak. Itu sama saja dengan membaca. Terkenang, beliau sering bilang, “Enak kok ngajine Mbak Rosi iki. Seneng ngrungoknone”. Ya Allah gusti, pingin nangis kalau sudah seperti ini. Teringat lagi, ketika aku sudah menginjak Madrasah Tsanawiyah, aku masih mengaji tadarrus ramadhan di langgar dan kata beliau “Ngajine Mbak Rosi iki lagune pancet ae kawit cilik biyen” Yaa Allah Bu, kulo kangen jenengan saestu. (
~
Kemarin, ketika hari jum’at, ada khataman di pondok sini, pondok pesantren Al-Qur’an Al Mashduqie. Paginya, Bunyai yang mengaji di mic, juz 3 separuh dan juz 4. Ketika sudah selesai, mic diberikan. “Ini siapa yang mau baca ? Mbak Isnani ini harus baca semuanya ya.” Dhawuh beliau sambil tertawa. Ah, Bunyai. Engkau memang suka bercanda. Akhirnya memang giliranku membaca juz 5. Dan siangnya, pondok sepi sekali. Santri yang mayoritas mahasiswa kuliah semua dan hanya beberapa saja yang masih di pondok. Akhirnya aku lagi yang membaca. Di tengah-tengah membaca, ada anak ndhalem berbisik di telingaku sambil menggoda “Mbak kata Bunyai ngajinya mbak isnani cek nyamannya (red:enak-bahasa Madura). Aku hanya menepuk bahunya sambil tersenyum. Tapi di saat yang bersamaan juga, airmataku ingin menetes. Teringat Bu Musyawarah yang mengajariku ngaji hingga bisa seperti sekarang. Sorenya, aku ngaji lagi karena santri masih belum pulang. Selesai mengaji, santri ndalem yang tadi menggoda lagi ”Mbak tadi Bunyai bilang lagi -Kok Mbak Isnani lagi yang baca?- Terus tak jawab Mbak. “Iya Bunyai, gak ada Mbak-mbaknya. Kuliah semua.” “Oh, tapi nggak apa apa sih. Enak kok ngajinya. Seneng gitu dengerinnya” Lalu dia tertawa. Aku pun hanya tersenyum saja. Hari itu, aku sangat merindukan seseorang yang begitu istimewa dalam hidupku. Seseorang yang mengajariku dari yang masih terbata-bata. Aku merasa beliau sudah seperti ibuku sendiri. Aku selalu bahagia ketika bisa mengayuh sepeda menuju langgar beliau. Aku selalu bahagia mencium astha beliau. Aku selalu bahagia diajari beliau setiap harinya. Beliau menyayangiku, beliau membimbingku dan percaya dengan kemampuanku.
~
Kini, beliau ada disana. Aku rindu. Sungguh. Sering sekali aku merindukan beliau. Dan kini aku hanya mampu mendoakan beliau dengan mengirimkan fatihah, agar beliau senang dan bahagia disana. Allah Tuhanku, Yang Maha Pengasih, Yang Maha Penyayang. Sayangi beliau disana, tempatkan ia disisiMu dengan tempat yang terbaik, sampaikan aku merindukannya.
#Sebenarnya aku menulis ini sejak 28 Oktober 2018, hanya saja terkadang ada kesibukan lain jadi harus terjeda dan tidak bisa sekali duduk langsung selesai. Barulah hari ini ku tuntaskan tulisan ini. Dan sekarang, sudah dini hari, pukul 00:52 am. Semoga siapapun yang membaca tulisan ini, aku ingin dia mengingat kembali dengan guru-gurunya, yang telah berjasa mengajarkan dari yang semula tak bisa apa-apa. Mari kita selalu mendoakan guru kita, setidaknya minimal mengirimkan fatihah untuk mereka.
#Pondok Pesantren Al Qur’an Al Mashduqie
4 Maret 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar